
Langkah untuk mengupayakan kesehatan jiwa di Indonesia menghadapi tantangan yang semakin besar. Hal tersebut disebabkan adanya kecenderungan meningkatnya masalah kesehatan jiwa dalam era globalisasi. Oleh sebab itu dibutuhkan adanya kebijakan pembangunan kesehatan yang relevan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
Hal tersebut disampaikan oleh dr. Rusdi Maslim, Sp.KJ., M.Kes., saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor , Kamis (22/3) di Fakultas Kedokteran (FK) UGM. Dalam kesempatan itu, Rusdi menyampaikan disertasi berjudul “Prevalensi dan Distribusi Masalah Kesehatan Jiwa di Indonesia: Suatu Kajian Epidemiologi Psikiatriâ€.
Rusdi mengungkapkan data epidemiologi masalah kesehatan jiwa yang terungkap dalam survey kesehatan rumah tangga (SKRT) dan riset kesehatan dasar (Risekedas) belum dapat dipakai untuk menunjang perencanaan program upaya kesehatan jiwa karena informasi yang terungkap sangat terbatas. Untuk itulah diperlukan sebuah penelitian dan kajian epidemiologi psikiatri untuk mendukung perencanaan program upaya kesehatan jiwa berlandaskan kebutuhan dan alokasi sumber daya kesehatan jiwa yang sangat terbatas.
Dari hasil penelitian Rusdi, menunjukkan prevalensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia sebesar 6,55%. Angka tersebut tergolong sedang dibanding dengan negara lainnya. Adapun proporsinya adalah gangguan penyakit fisik kronis sebesar 35,12% dengan rata-rata kehilangan hari produktif 15,23 hari dan kekerasan dalam rumah tangga sebesar 17,74% dengan rata-rata kehilangan hari produktif 13,53 hari. Berikutnya gangguan jiwa sebesar 8,04% dengan rata-rata kehilangan hari produktif 31,12 hari.
Sementara itu dari data distribusi variable sosiodemografik memperlihatkan bahwa wanita merupakan golongan yang lebih berisiko mengalami gangguan kesehatan jiwa. Selain itu gangguan kesehatan jiwa lebih banyak mendera kalangan usia muda, pendidikan rendah , orang dewasa tapi tidak menikah, serta orang dengan status ekonomi dan tingkat pendpatan keluarga yang rendah. “Adanya keluarga yang besar, persepsi peringkat sosialyang tinggi, dan kesejahteraan masyarakat yang baik menjadi faktor protektif terhadap persoalan gangguan kesehatan jiwa ini,†ungkap dosen Fakultas Kedokteran Atmajaya Jakarta ini.
Lebih lanjut dikatakan pria kelahiran Bengkulu, 64 tahun lalu ini, temuan lainnya menunjukkan prevalensi reponden dengan masalah kesehatan jiwa yang tidak mendapat pelayanan kesehatan jiwa dari fasilitas pelayanan kesehatan formal sebesar 91,80%. Sementara baru 1,02% responden yang memperoleh pelayanan kesehatan jiwa dari fasilitas pelayanan kesehatan formal. “Maka dari itu kebijakan kesehatan seyogianya memperhatikan keterjangkauan pelayanan kesehatan jiwa. Sebisa mungkin dapat dijangkau oleh masyarakat luas,†jelasnya.
Rusdi menambahkan dalam penyusunan kebijakan nasional perlu memberikan prioritas yang tinggi untuk mengupayakan kesehatan jiwa sebagai subsistem kesehatan nasional. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. (Humas UGM/Ika)