YOGYAKARTA – Fenomena kekerasan hubungan antara kelompok agama menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Berulangnya model kekerasan beragama dengan pola yang mirip merupakan dampak dari tindakan diskriminasi yang dilakukan negara terhadap kelompok agama minoritas. Bahkan, kasus kekerasan beragama tidak lagi diselesaikan melalui kebijakan publik namun menyerahkan sepenuhnya kepada elit politik lokal. â€Saya melihat pemerintah pusat cenderung diam dengan melokalkan penanganan kasus. Masalah GKI Yasmin dan Ahmadiyah, Presiden sepertinya tak mau ambil risiko dan memindahkan kasus itu menjadi isu lokal,†kata pengamat politik UGM, Ari Dwipayana, dalam membahas hasil laporan tahunan kehidupan beragama yang dirilis oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Rabu (21/3).
Yang dikhawatirkan oleh Ari justru fenomena kekerasan beragama yang kerap terjadi di daerah menjadikan masyarakat kian permisif terhadap berbagai aksi kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama. Ari menyayangkan bahwa pemerintah masih menganggap kasus kekerasan beragama yang terjadi selama ini dalam batas normal.Sementara dari kelompok agama yang melakukan aksi kekerasan melakukan pembenaran dengan doktrin teologi.“Bahaya besar apabila menganggap kekerasan agama yang terjadi ini sebagai sesuatu yang normal,†tandasnya.
Dia berpendapat pemerintah dan DPR harusnya mengeluarkan peraturan yang mampu melindungi dan menghormati kebebasan beragama bukan peraturan yang bersifat diskriminatif, partisan, memihak dan melindungi kelompok tertentu atas dasar kepentingan politik sesaat. “Karena banyak UU yang bernuansa agama untuk kepentingan elektoral dan konfigurasi politik, komodifikasi agama, dan rebutan kavling ekonomi,†tegasnya.
Selain itu, dia menyoroti lemahya kepolisian dalam mengantisipasi munculnya kasus kekerasan agama akibat kegamangan kepolisian dalam menentukan posisi. “Karena kebijakan politik dalam kasus itu tidak pernah jelas. Polisi lalu berpihak yang dianggap mainstream pada aksi massa mayoritas. Padahal ini menjatuhkan kredibilitas negara di depan kelompok minoritas yang seharusnya dilindungi,†ungkapnya.
Senada, KH. Dian Nafi, mengusulkan perlu adanya penguatan pendidikan agama dan meningkatkan rasa kebangsaan di kalangan generasi muda agar tidak mudah terprovokasi melakukan tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. “Mereka perlu dididik untuk meningkatkan spiritualitas, agar memiliki rasa harga diri, nilai moralitas, dan rasa memiliki antar sesama,†kata Pengasuh pondok pesantren Al-Muayyad, solo.
Peneliti CRCS Dr. Suhadi Cholil mengatakan peran ormas keagamaan sangat penting dalam mengajak massanya untuk menolak melakukan kekerasan. “Anak-anak harus diajarkan untuk menolak melakukan kekerasan. Ormas keagamaan memiliki peran yang besar untuk mendidik ini,†katanya.
Dalam laporan CRCS tentang kehidupan beragama, Suhadi colil, menyampaikan CRCS mencatat terjadi 20 aksi kekerasan, 7 kasus tuduhan penodaan agama, dan 36 kasus keberadaan rumah ibadah. Daerah yang paling sering terjadi kekerasan agama meliputi Jawa Barat, DKI dan Banten. Disusul Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Riau. Sisanya tersebar di beberapa daerah di seluruh Indonesia. (Humas UGM/Gusti Grehenson)