Memprioritaskan satu jenis kelamin dan meninggalkan jenis kelamin lainnya tentu menjadi masalah yang serius. Hal itu bisa saja menyebabkan kematian bagi jenis kelamin yang ditinggalkan. Pada kebanyakan budaya termasuk Indonesia, prioritas itu lebih sering untuk laki-laki daripada perempuan, meskipun pada beberapa budaya, perempuan lebih dominan daripada laki-laki.
Ketertinggalan anak perempuan Indonesia terlihat dari rendahnya tingkat pendidikan daripada laki-laki, dan digambarkan tidak mampu menjadi pemimpin, aspirasi karir bersifat melayani menjadi perawat, guru, dan aktivitas menghibur orang lain. Sementara sempat kehilangan untuk belajar kegiatan maskulin yang disebabkan ditiadakannya pelajaran pramuka. Sedangkan ketertinggalan anak laki-laki cenderung tinggal kelas dan putus sekolah, hilang kesempatan mempelajari kegiatan feminim karena ditiadakannya kegiatan pramuka dan jarang mendapatkan beasiswa. “Dampaknya tentu saja setelah dewasa laki-laki menjadi tergantung pada perempuan dalam urusan domestik,” ujar Arundati Shinta, di Fakultas Psikologi UGM, Jum’at (16/3).
Ia menyampaikan hal itu saat menempuh ujian terbuka program Ilmu Doktor Ilmu Psikologi UGM. Staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi ’45 Yogyakarta, ini mempertahankan disertasi “Variabel-Variabel Psikososial Yang Mempengaruhi Pilihan Peran gender Anak”.
Dikatakan Arundati ketertinggalan perempuan dan laki-laki menunjukkan adanya harapan yang berbeda dari lingkungan, orang tua, media massa, teman sebaya dan guru dengan berdasar alasan peran gender. Perempuan diharapkan aktif dalam urusan feminin dan laki-laki dalam urusan maskulin. Kondisi ini tentu saja memperlihatkan cara orangtua menentukan pilihan mainan, kegiatan waktu luang dan aspirasi karir untuk anak-anaknya berdasarkan alasan gender. “Pilihan orangtua itu mendorong potensi anak terbatas pada hal-hal yang stereotip gender, sehingga alternatif masa depannya cenderung sempit,” katanya.
Arundati memaparkan idealnya anak-anak semenjak dini mestinya diberikan kesempatan untuk bermain, melakukan kegiatan, dan diperkenalkan dengan berbagai karir yang sifatnya sesuai dan berlawanan dengan peran gendernya. Anak perlu juga diperkenalkan dengan kebaikan sifat maskulin dan feminim sekaligus. Pemberian kesempatan tersebut hendaknya dilakukan di sekolah, sebagaimana yang telah dilakukan di Swedia selama ini. “Semua ini dilakukan agar anak mampu menentukan segala sesuatu yang akan dilakukannya kelak berdasar minatnya bukan karena alasan peran gender, dan menghindarkan anak dari penolakan yang prematur terhadap suatu karir untuk masa depannya,” ungkapnya.
Sebab masyarakat jaman sekarang mengharapkan perempuan dan laki-laki mampu memperlihatkan karakteristik maskulin, juga sekaligus feminin. Orang-orang seperti inilah menurut para ahli menunjukkan keterbukaan pikiran, serta tidak lagi mementingkan peran gender. Hal ini mengandung arti bahwa seseorang memilih suatu perilaku tidak berdasarkan pertimbangan kesesuaiannya dengan peran gender, namun berdasar kebutuhan personal. “Ia merasa bebas dan tidak takut terhadap pilihannya yang mungkin tidak sesui dengan norma gender tradisional,” jelas perempuan kelahiran Bandung, 20 Maret 1960 ini, yang dinyatakan menjadi doktor ke-1599 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung)