Banyak warga UGM yang selama ini memiliki pemikiran, wawasan, serta gagasan yang luas untuk kemajuan UGM sehingga dapat lebih cepat memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara. Setidaknya ini tercermin dari paparan tiga insan UGM, yaitu Prof. Dr. Umar Anggara Jenie, M.Sc., Apt. (Guru Besar Fakultas Farmasi), Prof. dr. Iwan Dwi Prahasto, M.Med.Sc., Ph.D. (Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM), dan Giovanni van Empel (Presiden BEM-KM UGM tahun 2012) pada acara temu warga UGM di Grha Sabha Pramana (GSP) Lt. 1, Jumat (9/3) lalu.
Guru Besar Fakultas Farmasi, Prof. Dr. Umar Anggara Jenie, M.Sc., Apt, mengawali paparannya dengan sejarah berdirinya UGM, 19 Desember 1949, di tengah kancah revolusi Indonesia yang saat itu tengah menghadapi penjajah Belanda yang akan kembali. Jika dilihat secara fisik, UGM merupakan penggabungan dari beberapa perguruan tinggi yang sudah ada sebelumnya, yaitu perguruan tinggi keilmuwan yang tersebar di beberapa wilayah, seperti Yogyakarta dan Solo. Berdirinya UGM sebagaimana semangat para founding father, kata Anggara jenie, adalah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
“Ini yang harus ditanamkan kepada semua warga UGM, baik peneliti, dosen, perekayasa, pranata humas, maupun pegawai administrasi lainnya,â€kata Anggara Jenie.
Anggara Jenie memiliki obsesi agar UGM menjadi universitas pelopor dari aspek akademik. Sejarah UGM sudah membuktikan hal tersebut ketika Prof Koesnadi Hardjasoemantri memelopori pengerahan tenaga mahasiswa ke seluruh Indonesia untuk mempercepat pencerdasan bangsa. UGM harus menjadi pusat peradaban di seluruh wilayah Indonesia yang bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Obsesi lainnya adalah agar UGM terus meningkatkan pusat-pusat studi menjadi semacam Research School yang tekanannya melakukan dharma penelitian dan pendidikan pasca. Anggara Jenie optimis UGM mampu menjadi universitas 10 besar di Asia atau 3 besar di ASEAN.
“Rangking UGM di tingkat dunia dan Asia tidak terlalu jelek. Tahun 2010 UGM berada pada rangking 250 versi THES-WUR, dan 72 di Asia versi Webometric. Kita optimis ini akan terus naik,†paparnya.
Sejalan dengan visi UGM menuju World Class Research University (WCRU) Umar Anggara Jenie mengatakan bahwa dharma pendidikan dan dharma penelitian harus dilaksanakan oleh UGM secara sama. Jika pada masa lalu dharma pendidikan lebih ditekankan, pada saat ini, kedua dharma itu harus diperlakukan secara sama (equal), baik dalam masalah sarana, prasarana maupun dukungan finansial.
“Di sini penelitian merupakan kompas akademia bagi perguruan tinggi. Seperti halnya California Institute of Technology, hasil-hasil penelitian yang dihasilkan di sana sudah melahirkan 300 pemenang hadiah nobel,†kata pria kelahiran Surakarta, 22 Agustus 1950.
Dalam pandangan Anggara Jenie untuk menjadi sebuah universitas riset yang unggul, modernisasi prasarana dan sarana harus dilakukan. Harus diakui bahwa hampir semua laboratorium yang ada di lingkungan UGM merupakan teaching laboratory atau laboratorium untuk tujuan pendidikan semata. Beberapa laboratorium di Fakultas atau pusat studi diakui memang ada yang sudah merupakan research laboratory, tetapi masih minim.
“Research laboratory yang andal adalah suatu laboratorium-riset yang dilengkapi/didukung oleh instrumentasi modern dan canggih yang memungkinkan hasil riset itu layak untuk diajukan sebagai publikasi ilmiah pada Jurnal Internasional yang mempunyai impact factor tinggi,†ujar mantan Kepala LIPI itu.
Di tempat sama, Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM, Prof. dr. Iwan Dwi Prahasto, M.Med.Sc., Ph.D, dalam temu warga UGM tersebut mengangkat topik tentang Reposisi Peran UGM di Kancah Nasional, Regional, dan Global.
Iwan memberikan gambaran tentang berbagai keunggulan yang dimiliki Indonesia sebenarnya juga ada di UGM, baik untuk bidang pendidikan, penelitian, maupun pengabdian kepada masyarakat. Dengan keunggulan yang dimiliki itu, Iwan mengaku bangga membawa nama UGM dimana pun ia berada. “Tidak ada keraguan bahwa kita hidup pada suatu institusi yang benar-benar hebat. Ke mana pun saya pergi di pundak saya ini selalu saya bawa nama besar UGM,†ujarnya.
Beberapa keunggulan UGM yang turut membawa nama baik di kancah global antara lain sebagai trend setters inovasi pendidikan. Sistem, seleksi, dan input yang dihasilkan UGM ditiru oleh universitas mana pun di Indonesia. UGM juga memiliki sangat beragam kelimuwan sehingga segala keistimewaan di Indonesia ada di UGM. Penelitian sangat produktif termasuk yang multidisplin.
“Pengabdian yang terus-menerus akan menjadi bagian dari institusionalisasi dan komitmen sehingga tidak ada keraguan lagi bahwa UGM itu universitas yang hebat,†katanya.
Iwan memiliki beberapa harapan dan pemikiran agar UGM terus maju dan berkembang. Pemikiran tersebut antara lain yang pertama adalah kurikulum berbasis kompetensi untuk menghadapi tantangan masa depan. Beberapa kriteria kurikulum yang ditawarkan bersifat future competence, dynamic, flexible, transparan, dan akuntabel.
“Bahkan pernah ada data dari Dirjen DIKTI bahwa hampir 98% kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia tidak pernah berubah. Artinya, ini kita susun kurikulum untuk masa depan, tapi kita hidup di masa lampau,†kata Iwan.
Iwan yang meraih doktor dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, England tersebut menambahkan selain kurikulum yang berbasis kompetensi, UGM ke depan merupakan institusi pembelajar berbasis IT. Ini sudah terlihat dari adanya kemudahan akses di dunia maya dan electronic journal.
“Ini masih perlu ditingkatkan, misalnya, dengan electronic administration sehingga setiap orang mempunyai profil sendiri-sendiri bagaimana ia ditempatkan di UGM dengan perannya masing-masing,†ujarnya.
Sementara terkait e-learning, Iwan menilai banyak mahasiswa sekarang yang lebih hebat daripada dosen. Belajar di dunia maya bisa dilakukan di mana saja, di rumah, di coffe shop, dan lain-lain karena hot spot ada di mana-mana. Akibatnya, bisa jadi dosen akan tertinggal satu langkah di belakang mahasiswa jika tidak membudayakan e- learning proses di level pendidikan.
Kemudian e-carier development dan e-riset record. Kebijakan ini menurut Iwan akan mampu memberikan rasa percaya diri kepada semua pegawai bahwa institusinya memberikan perhatian, misalnya, di bidang kenaikan pangkat serta menghindari rasa kecurigaan antara staf dengan pimpinan. Sementara itu, melalui e-riset record, kata Iwan, sangat memungkinkan untuk mengetahui siapa saja staf di UGM yang memang benar-benar memiliki keahlian dalam keunggulan seperti mempublikasikan di jurnal internasional.
“Banyak staf UGM yang hebat-hebat meskipun terkadang low profile,†jelas Iwan.
Dalam acara itu, Iwan juga bermimpi UGM ke depan akan menjadi pusat unggulan riset translational. Iwan menilai riset-riset yang dikembangkan selama ini bersifat jangka pendek dan tidak berkelanjutan. Ia memberikan gambaran bahwa saat ini 96% bahan baku obat-obatan di Indonesia masih diimpor dari luar negeri. Padahal, seperti diketahui Indonesia kaya akan bahan alam termasuk untuk obat-obatan.
UGM ke depan harus mandiri. Dengan kemandirian itu, kata Iwan, UGM bisa hidup tidak dari uang SPP, tetapi dari kemandirian dalam menciptakan produk-produk dan ilmu-ilmu baru yang bermanfaat bagi masyarakat seperti teknologi robot dan roket.
“Banyak penelitian yang berhenti pada uji praklinik, tidak dilanjutkan sampai uji klinik, bahkan menjadi bahan aktif,†urainya.
Iwan juga bermimpi UGM bisa menjadikan seluruh civitas akademika yang dimiliki berkinerja tinggi. UGM yang memiliki keluarga alumni terkuat di Indonesia menjadi potensi yang luar biasa. Untuk itu, budaya corporate harus selalu ditanamkan. Budaya “itu untuk kepentingan saya. Saya harus hidup dari UGMâ€. Pandangan tersebut menurut Iwan harus dibalik menjadi “Saya harus bisa menghidupkan UGM, karena dengan demikian UGM akan tetap terus menghidupi sayaâ€.
Lain halnya dengan pemikiran Presiden BEM UGM, Giovanni van Empel. Giovanni berharap UGM tidak ikut terjebak dalam nalar modern. Selama ini, kata Giovanni, perguruan tinggi lebih memfokuskan kegiatannya pada hal-hal yang tampak secara kuantitatif seperti penyerapan lulusan, kuota penerimaan, dan publikasi internasional.
“Hal ini sebenarnya bukan suatu keburukan, tetapi dalam persepektif filosofis seharusnya ada yang lebih diutamakan, yaitu pembentukan komunitas ilmiah. Pembentukan komunitas ilmiah ini patut dibangun di UGM dengan mengadakan pertemuan interdisiplin secara berkala,†ujarnya.
Komitmen dosen, lanjutnya, digerakkan untuk melibatkan secara aktif dalam memperkenalkan realitas sosial yang komplek pada mahasiswa. Hal itu dilakukan agar mahasiswa terbiasa menjadi ahli dalam berbagai bidang, bukan terkotak-kotak dalam perspektif keilmuannya saja. University Club diharapkan bukan hanya sekedar menjadi tempat bermalam, tetapi bisa digunakan sebagai ruang publik ideal bagi warga UGM.
“Desain pembangunan in term of social space ini sepertinya yang perlu dikembangkan dan diimplementasikan di UGM kita tercinta ini,†sebut mahasiswa Fakultas Kedokteran angkatan 2008 ini.
Giovanni menambahkan, saat ini BEM UGM telah menyusun sejumlah rekomendasi agar tata kelola universitas dapat berjalan dengan baik. Selain mendorong UGM untuk bersikap transparan dan memberikan akses informasi publik juga merndorong adanya evaluasi terhadap kurikulum yang berlaku di seluruh Fakultas. Di samping itu, perlu pula adanya pengimplementasian pendidikan karakter melalui penerapan mata kuliah Anti Korupsi di UGM.
“Kami juga mengharapkan dibuat agenda public hearing kepada seluruh mahasiswa secara terbuka yang diadakan setiap bulan. Dengan adanya ruang inspirasi tersebut, semoga komunikasi antara pimpinan universitas dan mahasiswa berjalan dengan baik dan tidak banyak terjadi kesalah pahaman dalam perumusan kebijakan,†imbuhnya.
BEM UGM juga mendorong dilakukannya reformasi birokrasi dengan mempermudah akses pelayanan kemahasiswaan. Di samping itu, juga mendorong UGM mewujudkan good university governance melalui proses yang akuntabel dan mengedepankan partisipasi menyeluruh dari semua warga UGM dalam pengelolaan kampus.
Dari acara temu warga UGM ini, Rektor UGM Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D. berharap dapat memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan serta menjadi inspirasi untuk memandu langkah UGM ke depan.
“Semoga pemikiran-pemikiran tentang kemajuan UGM yang telah disampaikan bisa menjadi bekal untuk didedikasikan memajukan UGM dan menambah kualitas pemahaman terhadap situasi UGM, nasional maupun global,†jelas Rektor.
Rektor juga sempat memberikan penjelasan seputar pertanyaan yang muncul dalam forum. Salah satunya tentang aturan mengenai rokok masuk kampus. Rektor menyebutkan UGM memiliki smart planning dengan mendeklarasikan diri sebagai kampus bebas rokok. Namun, pada praktiknya (implementasinya) belum sempurna (excellent). Setidaknya ini terlihat dari adanya unit kerja yang menerima bantuan pembiayaan pengembangan perpustakaan serta fasilitas perkuliahan dari sebuah yayasan rokok.
Melihat kondisi tersebut, Rektor mengimbau semua warga UGM turut serta memonitor seluruh aktivitas apakah sudah berjalan sesuai dengan smart planning yang telah ditetapkan. Jika monitor berjalan baik maka law enforcement di kampus pun akan dapat ditegakkan.
“Ke depan kita harus jadi pemonitor dan berani mengajak bagaimana sebaiknya sesuai dengan smart planning,†harapnya (Humas UGM/Satria AN & Ika)