Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (jamkesmas) bagi keluarga miskin seringkali tidak tepat sasaran. Ada kelemahan dalam menentukan sasaran masyarakat miskin. Berdasarkan data Susenas 2005-2006, hanya 86 persen dari kelompok 25 persen termiskin yang mempunyai kartu jamkesmas. Di sisi lain justru sekitar 10,32 persen dari kelompok 50 persen terkaya yang memegang kartu jamkesmas.
“Sayangnya karena ketiadaan data tentang penghasilan keluarga, maka tidak ada model penentuan sasaran yang lebih baik dari metode yang sekarang dipakai,” ujar perwakilan dari Badan Kesehatan Dunia, dr. Gunawan Setiadi, MPH saat menyampaikan pidato ilmiah pada Puncak Dies Natalis ke-66 Fakultas Kedokteran (FK) UGM, di Auditorium kampus setempat, Senin (5/3).
Persoalan kesehatan lain yang juga sering muncul, menurut mantan Kepala Biro Perencanaan Program Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI adalah masih minimnya masyarakat miskin yang menggunakan layanan kesehatan milik pemerintah. Mereka lebih memilih sarana kesehatan swasta meskipun harus membayar.
Sementara itu kelompok masyarakat kaya, meski cenderung memilih pelayanan kesehatan swasta dibandingkan milik pemerintah, tetap saja menggunakan layanan kesehatan pemerintah. Akibatnya semakin banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan layanan kesehatan karena tidak mampu berobat. “Kita semua perlu adanya sebuah model pelayanan kesehatan baru yang sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat yang selama ini tidak terjangkau,” ujarnya.
Menyampaikan pidato “Wirausaha Sosial Di Bidang Kesehatan”, Gunawan menjelaskan model pelayanan kesehatan tersebut sesungguhnya bisa digarap oleh wirausaha sosial atau social enterprise. Kewirausahaan sosial ini menjadi kegiatan yang mempunyai misi yang bersifat sosial melalui pengkombinasian inovasi, kesempatan dan kemampuan mengatasi situasi sulit untuk mengubah sistem dan praktik sosial.
Sumber inovasi yang dapat diramu menjadi wirausaha sosial di bidang kesehatan diantaranya di bidang manajemen dan teknologi pelayanan kesehatan. Selain itu melalui upaya menangkap kecenderungan meningkatnya kedermawanan. “Menangkap kesadaran akan perlunya kesukarelaan juga bisa dilakukan,” jelasnya.
Sedang Dekan FK UGM, dr. Rr. Titi Savitri Prihatiningsih, M.A., M.Med.Ed., Ph.D dalam laporan tahunan memaparkan berbagai inovasi dalam pendidikan profesi telah dilakukan FK UGM, diantaranya dengan melakukan sinergi dalam perencanaan dan pelaksanaan rotasi klinik antara staf di lingkungan FK UGM dan rumah sakit jejaring pendidikan melalui pembentukan Clinical Rotation Planning Team (CPT). “Program tandem Rotasi klinik antara Koas dan Residen telah dilaksanakan bekerjasama dengan TKP PPDS,” paparnya.
Berbagai penyempurnaan pun terus dilakukan FK UGM di tahun 2011. Diantaranya pemantapan bidang organisasi, sentral administrasi, penyempurnaan buku-buku rotasi klinik dan evaluasi pola rotasi. Selain itu melakukan penyempurnaan untuk koordinasi Tim CPT, evaluasi dan penyempurnaan sistim pembayaran pembimbingan klinik, melanjutkan program TOT Dosen pembimbing klinik, evaluasi dan perbaikan program semicluster, penyiapan proposal KKN FK UGM, pembentukan koas service center dan menuntaskan para koas lama yang tertunda pendidikan profesinya. (Humas UGM/ Agung)