“One thing that Australia’s government did, I frankly think shameful!!,” ucap Susan Banki sambil menggerutu pada public lecture baru-baru ini, di Ruang Seminar Pascasarjana, Fisipol UGM. Berbicara pada public lecture bertopik “Durable Solutions or Durable Problems? The Case of Competing Regimesâ€, Susan merasa geram atas kebijakan pemerintah Australia yang melakukan kesepakatan dengan pemerintah Indonesia memulangkan kembali pengungsi Afganistan ke negara mereka.
Ia mengungkapkan pengungsi dari negara-negara yang dilanda peperangan, pasca konflik atau yang mengalami permasalahan sosial seringkali menggunakan Indonesia sebagai jalur alternatif menuju Australia. Bahkan belum lama, sebanyak 34 pengungsi yang berasal dari Iran, Afganistan dan Pakistan tertangkap di Pantai Samas Kabupaten Bantul. “Niat mereka untuk memulai hidup di Australia berakhir di tahanan dan menunggu dipulangkan di negara asal mereka sesuai dengan kesepakatan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia,” ungkap Susan, Human Rights Lecturer, Department of Sociology and Social Policy, University of Sydney.
Menurut analisa Susan Banki, peristiwa-peristiwa seperti itu bisa terjadi disebabkan adanya persaingan aturan main atau norma yang mengatur tentang permasalahan pengungsi. Norma tersebut terkait resettlement dimana pengungsi dialokasikan tempat tinggalnya di negara lain.
Sehubungan dengan ini terdapat dua kutub saling berseberangan. Di satu sisi ada yang berpegang prinsip bahwa pembangunan bersifat linear dimana status pengungsi bisa dilakukan melalui proses diskusi tahunan tripartit antara UNHCR, Pemerintah dan LSM. Di sisi lain dinamakan pengajar asal New York “everywhere else†yang melakukan mobilisasi pengungsi ke dalam camp, dan mengembalikan pengungsi ke negara asal.
Susan menyebut keduanya memiliki basis pengikut. Penganut kutub pertama diantaranya birokrasi di negara tujuan resettlement seperti Amerika, Canada atau Belanda, organisasi keagamaan dan yayasan lokal. Kutub kedua, diantaranya IOM dan berbagai Organisasi Kemanusiaan Internasional. “Sementara organisasi yang menganut kedua kutub adalah UNHCR,” tutur Susan.
Acara public lecture yang dipandu moderator Amalinda Savirani, Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM inipun semakin menarik manakala memasuki sesi tanya jawab. Banyak peserta dari Pakistan, Australia dan Indonesia memanfaatkan sesi diskusi ini. Bahkan untuk mempertajam materi, tak segan mereka bercerita tentang kisah pengungsi dari negara masing-masing.
Salah satu kisah menarik berasal dari peserta Indonesia yang menceritakan tentang nelayan Indonesia di bawah umur yang dipenjara di Australia karena “dibodohi†oleh pengungsi untuk ke luar dari perairan Indonesia menuju Australia. Sementara pihak pemerintah Indonesia mengabaikan nasib mereka demi menjaga hubungan baik kedua belah pihak negara.
“Kuliah umum yang bertajuk “Durable Solutions or durable Problems: The Case of Competing Regimes†ini memang menarik. Banyak menyajikan tentang norma dan aturan berlapis-lapis untuk mengatasi problema pengungsi. Bahkan di tiap lapisan tersebut mengandung kepentingan yang bergejolak satu sama lain. Di akhir sesi kuliah salah seorang peserta berkesempatan memberikan masukan menarik. Bahwa sebenarnya tidak ada aturan/norma yang bersaing satu sama lain. Yang ada adalah rule of the game untuk mengeruk keuntungan finansial yang lebih besar,” jelas Amalinda Savirani. (Humas UGM/ Agung)