Dalam beberapa tahun terakhir terjadi banyak perubahan dalam produksi dan penerimaan seni rupa kontemporer di Yogyakarta. Para perupa tidak lagi berorientasi pada penciptaan atau penemuan bentuk baru yang individual dan unik dalam menghasilkan karya seni rupa.
“ Telah terjadi perubahan paradigma dalam produksi dan penerimaan seni rupa. Berbagai karya seni rupa kontemporer yang dihasilkan perupa Yogyakarta cenderung lebih beragam dan berakrakter ironi dan parodi ,†kata Drs. Hariyanto, M.Hum., saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor, Rabu (15/2) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Hariyanto menyebutkan proses produksi karya seni rupa saat ini lebih bebas karena para perupa banyak menggunakan startegi peminjaman bentuk dari zaman atau budaya yang berbeda. Kemajuan teknologi menjadi inspirasi dalam penciptaan karya seni rupa. Citra teknologi modern seperti kecepatan, kesederhanaan, rasional, berkesan metalik, dan keakuratan diekspresikan dalam bentuk garis, warna pada karya seni rupa moderen.
“Pada era posmoderen teknologi tidak hanya sebatas menjadi rujukan dalam berkarya, melainkan sebagai alat bantu berkarya dan menjadi bagian dari seni media baru yang meliputi seni video, seni multimedia, soundart,serta seni komputer,†terang pria kelahiran Temanggung, 1 Mei 1958 ini.
Dalam disertasi berjudul “ Seni Rupa Kontemporer Di Yogyakarta Sejak Tahun 1975 Hingga 2010: Identitas Dan Perubahanâ€, staf pengajar Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang ini menuturkan bahwa para perupa di Yogyakarta memainkan politik identitas dalam karya-karyanya. Politik identitas yang mewarnai produksi karya seni rupa kontemporer di Yogyakarta sangat beragam. Keberagaman tersebut menunjukkan bahwa identitas budaya bersifat plural. Pluralitas identitas budaya disebabkan oleh persilangan antara berbagai budaya yang dengan mudah dapat mempengaruhi para perupa. Identitas budaya yang tercermin dalam karya-karya seni rupa kontemporer tahun 1975-2010 dapat diidentifikasikan dalam beberapa tema yang menonjol seperti migrant, gender, urban, sosial-politik, serta lokal-global.
“ Dinamika yang terjadi pada para perupa ditambah dengan derasnya arus budaya global menjadi pendorong utama pembentuk identitas perupa Yogyakarta,†paparnya.
Ditambahkan Hariyanto, kondisi struktur sosial ekonomi masyarakat Yogyakarta yang beragam didukung dengan warisan budaya yang menjadi sumber nilai dan ekonomi kreatif serta peran intelektual dan pekerja seni turut menjadikan Yogyakarta sebagai kota multikultural. Pularlisme masyarakat Yogyakarta inilah yang dijadikan sebagai modal bagi para perupa di Yogyakarta berkarya seni dengan menjunjung semangat pluralisme. (Humas UGM/Ika)