Maraknya kecelakaan lalu lintas yang menelan korban jiwa akhir-akhir ini membuat keprihatinan serta rasa was-was ketika berada di jalan raya. Pengamat masalah transportasi dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM Lilik Wachid Budi Susilo, S.T., M.T. mengatakan banyak faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan baik yang berasal dari kendaraan umum maupun pribadi. Beberapa faktor tersebut antara lain menyangkut kecepatan berkendara, usia muda, tanggung jawab terhadap penggunaan SIM, kesiapan infrastruktur, hingga protokol kecelakaan.
“Beberapa faktor tersebut menyangkut kecepatan berkendara, usia, protokol kecelakaan hingga tanggung jawab terhadap penggunaan SIM yang dimiliki,â€papar Lilik, Senin (13/2).
Ia menjelaskan selama ini masyarakat yang telah memiliki SIM tidak ditekankan rasa tanggung jawabnya bahwa ketika berkendara di jalan raya akan melibatkan keselamatan orang lain. Untuk bisa memperoleh SIM, kata Lilik, masyarakat lebih banyak mendapatkan teori dan ujian praktek saja. Padahal, rasa tanggung jawab yang menyangkut keselamatan orang lain justru lebih penting untuk ditekankan. Bukan saja pengendara kendaraan pribadi tetapi khususnya juga pengendara kendaraan umum yang membawa keselamatan orang banyak.
“Dalam UU 22/2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan raya sebenarnya juga telah ada aturan baik bagi korban kecelakaan maupun pelaku,â€kata Lilik.
Di sisi lain, belum ada ada persamaan persepsi antar stake holder seperti dari Jasa Raharja, Kepolisian, maupun Departemen Perhubungan. Ia mencontohkan jika Dephub dan Kepolisian fokus pada penyiapan infrastruktur dan keselamatan di jalan raya, Jasa Raharja lebih banyak fokus pada seberapa cepat mereka bisa membayar klaim untuk menyantuni korban kecelakaan lalu lintas.
“Selain itu biaya untuk menyantuni korban kecelakaan yang meninggal di Indonesia sangat kecil sekitar 25 juta. Di Malaysia saja bisa mencapai 2 milyar dan 3,5 milyar di Singapura,â€papar Lilik.
Lilik menambahkan di beberapa negara maju sistem asuransi sistem tripartit yang melibatkan perusahaan asuransi dari korban kecelakaan maupun pelaku telah berjalan cukup baik. Di sana juga telah diterapkan sistem hukuman semacam denda bagi yang bersalah akan membayar ganti rugi yang lebih besar lagi. Dengan sistem tersebut maka menurut Lilik juga akan menjadi salah satu bahan pemikiran agar masyarakat lebih berhati-hati ketika berkendara di jalan raya.
“Setelah ditetapkan sebagai pihak yang bersalah pihak asuransi pelaku akan membayar ke pihak asuransi korban. Nah, tahun depan pelaku ini harus membayar premi yang besar sehingga akan membuat ia lebih jera lagi,â€ujar Lilik.
Menurut Lilik standar kecepatan berkendara di jalan raya selama ini juga tidak jelas penerapannya. Sementara ruang publik lebih banyak dihiasi dengan reklame dan iklan daripada dengan rambu-rambu lalu lintas serta aturan batas kecepatan berkendara.
“ Misalnya kalau maksimal kecepatan berkendara 50 km/jam tentu bagi pejalan kaki harus dibatasi aksesnya jangan dicampur dengan kendaraan lain dll,â€katanya.
Sementara itu protokol kecelakaan menurut Lilik juga belum ada. Ia mencontohkan ketika terjadi kecelakaan lalu lintas kepada siapa masyarakat pertama kali harus melapor. Polisi ketika datang di lokasi kecelakaan pun terkadang juga masih kebingungan bagaimana prosedur merawat atau memberikan pertolongan pertama kepada korban kecelakaan.
“Protokol kecelakaan juga belum ada. Polisi kalau mengangkat korban kecelakaan salah khan bisa semakin parah sakitnya. Ini yang juga harus jadi perhatian,â€pungkas Lilik.
Seperti diketahui, belakangan ini kecelakaan lalu lintas baik yang melibatkan mobil pribadi dan angkutan umum banyak terjadi. Seperti kasus Afriyani Susanti di Tugu Tani yang menewaskan 9 orang serta kecelakaan maut terjadi di Jalan Raya Puncak, Cisarua, Bogor. Bus Karunia Bakti jurusan Garut-Jakarta menabrak ruko dan sejumlah mobil. Akibat kecelakaan yang diduga karena rem bus blong sebanyak 14 orang tewas dan 54 orang mengalami luka-luka pada kejadian itu (Humas UGM/Satria AN)