Meningkatnya impor produk pangan secara terus menerus dan rendahnya daya saing produk pangan Indonesia telah menyebabkan timbulnya pemikiran untuk merubah paradigma pembangunan pangan, dari yang melulu berfokus pada Ketahanan Pangan menuju pada arah paradigma Kedaulatan dan Kemandirian Pangan. Inilah yang melatarbelakangi Komisi IV DPR RI berinisiatif mengajukan RUU tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. RUU Pangan tersebut kini tengah memasuki tahap pembahasan tingkat I di Komisi IV DPR RI bersama dengan Pemerintah. “Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dalam perjalanan ternyata belum mampu menjawab berbagai permasalahan dan tantangan pembangunan pangan,” papar Ir. E. Herman Khaeron, M.Si, Ketua Tim Komisi IV DPR di ruang Multimedia UGM, Kamis (2/2).
Ia mengatakan hal itu, saat bersama 13 orang Tim Komisi IV dan dua peneliti dari sekretariat Jenderal DPR RI melakukan jaring pendapat di UGM guna mendapat masukan pembahasan RUU tentang Pangan. Dengan menggelar Forum Group Discussion (FGD), Panitia Kerja RUU Pangan Komisi IV DPR RI berharap memperoleh masukkan baik dari kalangan akademik, pemerintah daerah, para pakar maupun tokoh masyarakat. “Kami di Komisi IV DPR RI terus terang pingin mendapatkan jawaban, bagaimana seharusnya konsep kedaulatan dan kemandirian pangan diterapkan? Mengingat terdapat perbedaan mendasar antara DPR dengan Pemerintah tentang arah pembangunan pangan ke depan,” ujar Herman Khaeron.
Herman mengungkapkan dalam mewujudkan kedaulatan pangan, pangan lokal sangat diperlukan guna menunjang ketahanan pangan. Mengingat sulitnya merubah budaya masyarakat dalam menkonsumsi pangan, ia berharap bagaimana seharusnya pangan lokal mampu dikembangkan dalam rangka diversifikasi pangan. Selain itu untuk pembangunan pangan yang berdaulat dan mandiri maka diperlukan kelembagaan pangan yang kuat.
Dalam pandangannya beberapa kelembagaan yang menangani pangan saat ini dinilai kurang efektif. Oleh karena itu DPR merasa perlu membentuk Badan Otoritas Pangan agar dapat menyelenggarakan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, Ketahanan Pangan dan Keamanan Pangan. Dengan demikian Badan Ketahanan Pangan, Dewan Ketahanan Pangan dan Perum Bulog akan dilebur menjadi Badan Otoritas Pangan. “Badan tersebut nantinya merupakan lembaga pemerintah yang berada dibawah Presiden dan bertanggungjawab pada Presiden,” jelasnya.
Meski begitu pemerintah dalam DIM 633-656 Draft RUU Pangan inisiatif DPR dan DIM Pemerintah, menghendaki lembaga pangan yang ada saat ini tetap ada. Sehingga dalam pandangan pemerintah Badan Ketahanan Pangan, Dewan Ketahanan Pangan dan Perum Bulog serta lembaga nasional urusan pangan (sesuai DIM 765-770 DIM pemerintah) tetap ada. “Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini kami membutuhkan masukkan tentang bagaimana sebaiknya kelembagaan pangan dibentuk?,” lanjutnya.
Dalam jajak pendapat dengan beberapa pakar pertanian, pakar pangan, pakar perdagangan, pakar perindustrian, pakar kesehatan/gizi, pakar hukum, pakar ekonomi, badan POM Provinsi, LSM dibahas pula terkait kemungkinan membuka peran swasta dalam pengelolaan stok pangan nasional. Meski keinginan tersebut bertentangan dengan kewajiban negara (pemerintah) sebagai penjaga stabilitas harga pangan yang terjangkau masyarakat. Sebab sejarah mengajarkan, instabilitas harga pangan selalu terjadi setiap tahun dan kegagalan menstabilkan membuat negara menjadi terdakwa. (Humas UGM/ Agung)