YOGYAKARTA-Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam agama, budaya dan tradisi lokal telah gagal dalam menghadapi hedonisme masyarakat Indonesia sekarang ini. Memang, tidak seluruh masyarakat Indonesia berperilaku buruk sehingga menimbulkan wabah korupsi yang menyebabkan tidak terciptanya clean and good governance. Penduduk Indonesia yang jumlahnya mencapai 240 juta orang tersebut sebagian besar tidak bersifat demikian. Namun demikian dengan adanya sebagian kecil masyarakat yang berperilaku hedonisme itu telah menyebabkan tatanan pemerintahan menjadi tercemar dan hambatan besar bagi suatu bangsa, karena lapisan kecil itu berada pada posisi-posisi penting dalam bidang hukum, ekonomi, dan pemerintahan.
“Ini disebabkan tidak cukupnya pendapatan yang diterima untuk memenuhi tuntutan hidup sehari-hari, sebagian lagi karena memang serakah dan ingin hidup bermewah-mewah,â€kata Staf Pengajar dari Fakultas Hukum UI, Erman Rajagukguk, pada seminar Exploring and Empowering National and Local Wisdom toward a Clean and Good Governance, di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Kamis (2/2).
Erman mengatakan hedonisme telah menular kepada sebagian kelas menengah Indonesia, mereka yang berpendapatan cukup melebihi kebutuhan hidup keluarga. Ingin pamer keberhasilan hidup, nafsu konsumtif yang bergelora menyebabkan mereka ini menyerbu produk makanan, fesyen, barang elektronik sampai otomotif.
“Lihat saja ketika mereka rela antri berdesak-desakan membeli telepon seluler mutakhir yang dikatakan dijual dengan harga promo,â€katanya.
Tidak hanya hedonisme. Kekerasan saat ini pun sering terjadi di sejumlah lokasi. Terakhir yaitu terbakarnya Kantor Bupati Bima. Hal ini, kata Erman, diakibatkan kepincangan hidup yang menimbulkan ketidakpuasan masyarakat. Selain itu juga adanya akumulasi persoalan antara elit politik, masyarakat, pemda, dan pengusaha.
“Akhirnya sejumlah kearifan lokal seperti ungkapan-ungkapan tua yang menjadi filosofi hidup turun temurun dan mengakar kuat seakan hilang begitu saja,â€tutur Erman.
Di tempat yang sama Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI Saraswati mengemukakan peliknya kondisi Indonesia yang menyangkut identitas etnis, agama dan kultur yang berbagai macam ini selalu dalam keseimbangan yang tipis dengan identitas nasional. Bila keseimbangan yang rapuh ini, kata Saraswati, tidak dirawat oleh negara maka akan terjadi benturan antar kepentingan nasional dengan kepentingan-kepentingan partikular ini.
“Ini yang menjadi tantangan karena di satu sisi kearifan lokal bisa untuk merekatkan komunitas yang ada, tetapi di satu sisi kearifan lokal beserta identitas partikular dapat merongrong identitas nasional,â€ungkap Saraswati.
Saraswati menegaskan bahwa saat ini identitas kedaerahan atau etnis yang lebih erat dibandingkan identitas kebangsaan. Itulah mengapa konflik berbasiskan SARA masih saja terus terjadi di Indonesia. Kelompok multietnis lebih terikat dengan budaya-budaya partikularnya, dibandingkan dengan Indonesia sebagai satu kesatuan dari budaya-budaya ini.
“Jadi ini tantangan yang sesungguhnya, restorasi kembali jatidiri bangsa di tengah terjangan globalisasi dan menata kembali Indonesia sebagai bangsa yang kokoh,â€paparnya.
Sementara itu staf pengajar Fakultas Filsafat UGM Achmad Charris Zubair mengatakan dengan adanya persoalan keanekaragaman serta kemajemukan di Indonesia harus dikembangkan menjadi potensi bangsa dan mengantisipasin agar kemajemukan itu tidak menjadi sosial bagi perpecahan bangsa.
Menurut Charris ada beberapa hal yang perlu diaktualisasikan dalam konsep pendidikan nilai-nilai di masa mendatang seperti mengharmonisasikan antara dasar-dasar penguasaan disiplin ilmu dengan nilai-nilai moral yang berdasarkan agama dan nilai-nilai luhur masyarakat bangsa; generasi muda harus dikenalkan dengan realitas bangsa Indonesia yang bersifat majemuk; dan pendidikan nilai sudah seharusnya memiliki konsep yang membangun kesadaran subjek didik untuk mengembangkan secara optimal potensi yang dimiliki, baik sebagai individu maupun potensi sosial bangsa.
“Pendidikan nasionalisme yang menekankan kebangaan atas potensi bangsa, tidak harus diukur berdasarkan bangsa lain, perlu dikembangkan untuk mengantisipasi era global dan kosmopolitanisme,â€pungkas Charris (Humas UGM/Satria AN)