Tanggung jawab profesi dokter banyak berkaitan dengan sakit, sehat, dan hidup manusia. Oleh karena itu, wajar jika rentang waktu yang dibutuhkan untuk pendidikan dokter relatif panjang dan padat. Di Belanda, untuk menjalani program koasistensi diperlukan waktu tiga tahun. “Untuk itu, upaya-upaya peningkatan kualitas pendidikan dokter terus dikembangkan dan menjadi agenda tanpa henti dalam rangka mewujudkan dokter yang berkualitas dan amanah dalam mengemban profesi kedokteran.
Demikian disampaikan Dekan Fakultas Kedokteran UGM, dr. RR. Titi Savitri P.M.A., M.Med.Ed., Ph.D., di Grha Sabha Pramana, Kamis (19/1), saat melantik 127 dokter baru. Dikatakannya bahwa dalam rangka memberikan perlindungan kepada pasien, pelantikan dokter baru bukanlah akhir dari pendidikan dokter. Perjalanan karier menjadi dokter masih panjang. Setelah prosesi pelantikan, para dokter baru harus menjalani uji kompetensi yang diselenggarakan oleh Kolegium Dokter Indonesia. “Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, sertifikat kompetensi diberikan setelah dokter baru berhasil lulus dalam uji ini sehingga bisa mengajukan STR, Surat Tanda Registrasi,” katanya.
Bagi dokter yang ingin bekerja menjalankan praktik profesi dapat mengajukan Surat Izin Praktek (SIP) kepada Dinas Kesehatan yang bersangkutan. Proses yang panjang dan undang-undang tersebut merupakan wujud upaya yang sungguh-sungguh dalam mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis oleh dokter guna memberikan kepastian hukum pada masyarakat dan dokter itu sendiri. “Untuk itu, Fakultas Kedokteran dengan senang hati menyediakan pembelajaran lanjutan, baik degree atau continuiting education yang bersifat jangka pendek non-degree guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan,” tuturnya.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY, dr. Sarminto, M.Kes., berharap para dokter baru segera mengimplementasikan profesionalismenya agar kelak tidak terjebak pada rutinitas profesionalisme yang sempit. Kebanyakan dokter meyakini ilmu kedokteran hanya berfokus pada masalah penyakit, padahal selain melakukan intervensi fisik, dokter ideal semestinya juga berperan dalam intervensi moral dan sosial di tengah masyarakat. Para dokter diminta menerapkan trias peran dokter, yakni dituntut mampu berperan sebagai agen perubahan (agent of change), agen pembangunan (agent of development), dan agen pengobatan (agent of treatment). “Kita ketahui WHO telah lama mengampanyekan The Five Stars Doctor dengan kemampuan sebagai pemimpin masyarakat (community leader), memiliki kemampuan komunikasi yang baik (communicator), mampu mengelola (manajer), pengambil keputusan yang andal (decision maker) dan penyedia layanan (care provider),” kata Sarminto.
Sarminto mengingatkan bahwa kompetensi dan profesionalisme dokter merupakan prasyarat yang tidak boleh ditawar lagi. Oleh karena itu, kemampuan dalam menjalin komunikasi dengan pasien harus tetap diasah dan ditingkatkan. “Dengan seperti itu, dokter-dokter di Indonesia dapat benar-benar mengamalkan ilmunya sesuai kompetensi dan selalu menjaga kode etik kedokteran,” imbuhnya.
Dari 127 dokter baru yang dilantik, sebanyak 30 dokter baru berasal dari Program Internasional. Rata-rata studi kali ini ialah 5 tahun 2 bulan, dengan lulusan termuda Alexander Randy Angianto, yang berusia 20 tahun 8 bulan. Sementara itu, sebanyak 10 dokter baru dinyatakan sebagai lulusan terbaik dan tercatat sebagai peraih IPK terbaik adalah Kartika Apshanti dengan nilai 3,91. (Humas UGM/ Agung)