Hubungan politik luar negeri dan diplomasi dengan upaya pemberantasan korupsi secara sadar ataupun tidak menjadi tantangan bagi hampir seluruh negara di dunia. Kasus korupsi yang sudah sedemikian luas menjadi perhatian publik publik. Korupsi inipun telah menjadi sebuah isu global dalam beberapa tahun terakhir. Secara umum, korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan pribadi.
Meski begitu, korupsi pernah dianggap sebagai sebuah fungsi positif dalam modernisasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun sayang dampak negatif dari korupsi terhadap pembangunan sudah sedemikian meluas. Bahkan dalam penelitian tidak ditemukan pengaruh positif yang signifikan dari korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara demokratis, atau bahkan merusak perekonomian negara-negara yang tidak demokratis secara serius.
Demikian dikatakan, Nur Rachmat. Y, pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM dan peneliti pada Institute of International Studies UGM, di kampus setempat. Saat menjadi pembicara dalam Seminar ‘Pentingnya Politik Luar Negeri dan Diplomasi dalam Pemberantasan Korupsi’, yang digelar di UC UGM belum lama ini, Nur Rachmat mengatakan sebagai bentuk usaha pemberantasan korupsi yang telah melewati batas-batas negara, setiap negara mulai bekerja sama untuk membuat sebuah mekanisme kerja sama internasional dalam pemberantasan korupsi. Mekanisme inipun telah dimasukkan dalam kebijakan penting politik luar negeri negara tersebut, di antaranya UNCAC (the United Nations Convention Against Corruption), yang menginisiasi peringatan Hari Antikorupsi Internasional setiap 9 Desember, Konvensi OECD (Organization for Economic and Development), Transparancy International, dan beberapa kerja sama lainnya.
Kerja sama-kerja sama seperti ini tentu menunjukkan besarnya keseriusan negara-negara dalam melakukan tindak pemberantasan korupsi yang telah berkembang dari sekadar diplomasi tradisional meningkat ke kerja sama bilateral, multilateral, juga diplomasi publik yang diharapkan dapat mendapatkan respon positif dari masyarakat dan pembuat kebijakan negara yang dituju.
Menurut Nur Rachmat, politik luar negeri dan diplomasi, atau dalam hal ini diplomasi publik, sesungguhnya telah berhadap-hadapan dengan korupsi. Kondisi ini menunjukkan penyelesaian kasus korupsi berada di persimpangan jalan, antara menjadi sarana yang mampu meningkatkan citra atau justru hanya menjadi sebuah ilusi yang akan menunjukkan sesungguhnya korupsi memang tidak dapat dihilangkan. “Sebab berbagai kepentingan politik yang ada dalam pemerintahan sebuah negara, berpotensi besar untuk melemahkan pembangunan bangsa,” tutur Nur Rachmat. (Humas UGM/ Agung)