YOGYAKARTA-Sosoknya santun, sederhana, namun terkadang pelupa. Itulah testimoni yang diungkapkan oleh dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Prof. Dr. Suhartono, tentang pribadi Guru Besar Ilmu Sejarah UGM, Prof. Dr. Djoko Soekiman, yang memperingati hari lahirnya ke-80 tahun pada 23 September 2011 lalu. Upacara peringatan hari lahir Prof. Dr. Djoko Soekiman tersebut baru dilakukan hari ini disertai dengan peluncuran buku Kolonialisme, Kebudayaan, dan Warisan Sejarah di Ruang Multimedia Gd. Margono Lt.2 Fakultas Ilmu Budaya.
Suhartono mengatakan sifat yang dimiliki oleh Prof. Djoko Soekiman justru berkebalikan dengan sifat dan karakter yang selama ini ada pada orang Jawa Timur, yang apa adanya. Prof. Djoko Soekiman memiliki sifat santun dan lemah lembut. “Sifat santun dan lemah lembutnya justru melebihi orang Yogya sepertinya. Yang tidak bisa lepas dari pribadinya selain itu adalah sosoknya yang sederhana,” kata Suhartono, Rabu (21/12).
Sementara itu, sifat pelupa Prof. Djoko Soekiman dapat terlihat, antara lain, ketika baru saja melangsungkan pernikahan. Suhartono mengisahkan kala itu Prof. Djoko Soekiman bersama dengan istri tengah berjalan-jalan dengan mengendarai sepeda motor ke Malioboro. Namun, karena sifat pelupanya, ketika pulang ke rumah Prof. Djoko Soekiman meninggalkan sang istri. “Nah, ini sifat pelupa beliau yang mungkin selama ini sudah banyak didengar ceritanya oleh beberapa kalangan,” imbuh Suhartono.
Testimoni senada juga diungkapkan oleh Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro selaku kolega Prof. Djoko dari Jurusan Arkeologi. Sumijati juga menilai Prof. Djoko Soekiman merupakan sosok yang sederhana. Peran Prof. Djoko dalam membidani lahirnya Jurusan Arkeologi UGM sudah tidak diragukan lagi. “Di tahun 1964-1972, Pak Djoko juga sempat menjabat sebagai Ketua Jurusan Arkeologi kala itu,” kata Sumijati.
Sebelumnya, Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A. mewakili Jurusan Ilmu Sejarah UGM mengatakan sosok dan kiprah Prof. Djoko Soekiman menjadi kebangaan bagi jurusan. Apalagi ilmu yang selama ini digeluti, yakni sejarah kesenian, khususnya seni rupa tidak banyak dimiliki oleh orang lain. “Luar biasa. Ilmu beliau ini tidak banyak dimiliki oleh orang lain. Namun, sekaligus memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu lainnya, seperti arsitektur, dll.,” kata Bambang Purwanto.
Usai penyampaian testimoni, Prof.Djoko Soekiman pun memberikan sambutan. Dalam sambutannya, beliau mengucapkan terima kasih khususnya kepada Jurusan Ilmu Sejarah yang masih memberikan kesempatan kepada dirinya untuk mengajar meskipun di rumah. Dua mata kuliah yang masih diembannya terutama untuk mahasiswa S-2 ialah Sejarah Seni Rupa dan Historiografi Tradisional. “Dengan mengajar di rumah, seizin pihak Fakultas kita bisa lebih santai dengan mahasiswa, bahkan sambil makan dan minum ala kadarnya,” terang Djoko.
Acara ulang tahun dan peluncuran buku tersebut digelar secara sederhana disertai dengan potong tumpeng oleh Prof. Djoko Soekiman yang kemudian diberikan kepada Ibu Djoko Soekiman. Selain potong tumpeng, acara juga diwarnai dengan pemberian secara simbolis buku Kolonialisme, Kebudayaan, dan Warisan Sejarah yang berisi 28 tulisan/artikel dari kolega serta murid-murid Prof.Djoko Soekiman, yang sebagian tersebar di beberapa daerah dan instansi.
Tampak hadir dalam acara tersebut beberapa kolega, antara lain Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno, Prof. Dr. Inajati Adrisijanti, Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo, dan Prof. Dr. Christoporus Soebakdi Soemanto, S.U.
Prof. Djoko Soekiman dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, 23 September 1931. Ia merupakan putra R.S.Tjokrodihardjo. Ia menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah yang waktu itu masih menjadi satu dalam Sastera, Pedagogik, dan Filsafat (tahun 1953). Ia pernah menjabat Ketua Jurusan Arkeologi, Dekan Fakultas Sastra dan Keboedajaan selama tiga periode berturut-turut, 1971-1974, 1974-1977, dan 1977-1979. Djoko Soekiman aktif dalam berbagai bentuk forum kebudayaan, baik di dalam maupun luar negeri. Ia juga pernah menjadi Kepala Museum Sonobudoyo pada 1980-1986. Dari perkawinan dengan Tatiek Sutarti, ia dikaruniai empat orang putra, Baskoro Sukratomo, Ken Respati Kartika Dewi, Diyah Tutuko Suryandaru, dan Winong Heru Astranto. (Humas UGM/Satria AN)