YOGYAKARTA-Sastrawan, jurnalis, yang juga budayawan, Goenawan Mohamad, Senin (19/12) malam, memberikan orasi budaya di Pagelaran Keraton Yogyakarta. Orasi budaya Goenawan Mohamad mengangkat judul Metafor dan Metamorfosis, Membaca Kembali “Malangsumirang†. Orasi budaya tersebut disampaikan terkait dengan diterimanya Anugerah Hamengku Buwono IX dari UGM dalam rangka peringatan Dies Natalis ke-62, 19 Desember 2011. Acara malam itu selain dihadiri oleh keluarga besar UGM, juga beberapa kepala daerah, serta puluhan seniman dan budayawan yang selama ini menjadi sahabat Goenawan Mohamad.
Dalam orasinya, Goenawan mengaku yang menginspirasi untuk mengangkat naskah Malangsumirang adalah tulisannya mengenai mangkat (wafat) dan pemakaman Sri Sultan HB IX, 8 Oktober 1988. Pada waktu itu, dirinya berkesempatan meliput langsung peristiwa besar itu untuk laporan di Majalah TEMPO. “Teringat akan naskah tentang pemakaman agung itu, saya memilih percakapan hari ini dengan menawarkan pembacaan kembali sebuah naskah yang jauh lebih tua: Malangsumirang,†tutur Goenawan.
Dengan melihat ‘gerak’ teks Malangsumirang -dalam proses ‘metamorfosis’-, ia akan lebih pas berbicara kepada kita pada masa kini. Masa ketika hukum, kaidah, dan akidah, juga bahasa, bergulat dengan acuan-acuan yang tak henti-hentinya berubah, identitas-identitas yang luput mencakup. “Atau meminjam kata-kata Babad Jaka Tingkir yang menggambarkan Malangsumirang, inilah sebuah masa dengan perubahan yang ‘datan kena pinethit kesite’, tak tertangkap ekornya karena demikian gesit. Kisah Malangsumirang sendiri, yang tak harus kita percayai sebagai seorang pelaku sejarah yang ‘nyata’, juga sebuah kisah metamorfosis,” kata Goenawan.
Sementara itu, Sri Sultan HB X dalam sambutan yang dibacakan oleh GBPH Prabukusumo mengatakan orasi budaya tersebut tampak mengikuti alur benang merah pemikiran Goenawan Mohamad. Sebagai seorang kritikus, Goenawan berupaya menggunakan idiom Jawa, pasemon, sebagai media kritiknya. Ada ungkapan ‘ing sasmita amrih lantip’, yang berarti agar dapat menangkap arti simbolik dengan menggunakan ketajaman batin. “Mungkin itu maksud Mas Goenawan dalam orasinya, yaitu sebuah pepeling bagi penguasa,†sebut Sultan.
Sri Sultan HB X menilai tidak berlebihan jika predikat pujangga dilekatkan di belakang nama Goenawan Mohamad. Istilah pujangga, meskipun berbeda makna dengan kata cendekiawan, baik dalam kualitas dan fungsinya, keduanya memikul kewajiban dan tanggung jawab yang sama untuk membangun kebudayaan.
Pemberian Anugerah Hamengku Buwono IX kepada Goenawan Mohamad telah dilakukan Rektor UGM, Prof. Ir.Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., pada 19 Desember 2011, bertepatan dengan puncak Dies Natalis ke-62 UGM dan pemberian gelar Doktor Honoris Causa (HC) kepada Sri Sultan HB X di Grha Sabha Pramana (GSP). Goenawan Soesatyo Mohamad lahir di Karangasem, Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Penulis Catatan Pinggir di Majalah Tempo ini juga menulis puisi. Karyanya, antara lain, Parikesit (1969) dan Interlude (1971). (Humas UGM/Satria AN)