Para pengkaji hukum kritis memandang bukan hanya terjadi penyimpangan pelaksanaan hukum di Indonesia, namun substansi berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan pembentukan hukum di Indonesia terbawa arus “modernity trap”, dimana hukum dibangun dari nilai sosial modern jika diinginkan menjadi pendorong bagi kemajuan. Sementara disisi yang lain hukum harus “disapih” dari nilai sosial tradisional karena dianggapnya sebagai penghambat kemajuan bangsa.
Demikian dikatakan Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H., M.Si di ruang Balai Senat, Senin (12/12) saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Mengucap pidato “Hukum Prismatik: Kebutuhan Masyarakat Majemuk Sebuah Pemikiran Awal”, dosen hukum agraria program S1 dan S2 FH UGM, ini menyatakan pembentuk hukum di Indonesia sesungguhnya didasarkan pada politik penyederhanaan pemikiran di tengah-tengah keengganan dan ketidakmampuan pembentuk hukum menjabarkan keberagaman nilai sosial dan hukum yang ada di masyarakat ke dalam substansi hukum negara. Pembentuk hukum menempatkan diri sebagai aktor yang serba tahu namun dengan cara “transplantasi hukum” dari negara maju tanpa melalui uji kesesuaian.
Digambarkan hukum negara maju yang modern dipandang bagai gadis cantik dan dijadikan selingkuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi atau demokratisasi politik. Meskipun di balik “wajah cantik” tersimpan semangat manipulatif dan ketidak-adilan yang berakibat terjadinya dampak negatif di bidang ekonomi, sosial dan politik. Sebaliknya, hukum adat dengan nilai sosialnya dipandang sebagai “nenek peyot” yang tak pantas lagi dijamah karena hanya tinggal menunggu saatnya masuk kubur kemusnahan. “Padahal di balik ‘ke-peyotannya’ tersimpan nilai kearifan dan keadilan yang secara historis menjamin pemerataan distribusi sumberdaya kepada masyarakat,” paparnya.
Dikatakan Nurhasan jika hukum Indonesia diinginkan tidak menjadi instrumen pendorong terjadinya kemiskinan, penutupan akses bagi kelompok yang lemah, kesenjangan penguasaan sumberdaya yang tersedia, dan konflik struktural, maka perubahan politik pembangunan hukum tampaknya menjadi keniscayaan dengan mendasarkan pada kemajemukan masyarakat Indonesia. Masyarakat yang ditandai adanya kelompok-kelompok yang berbeda dengan nilai sosial yang berbeda, yaitu tradisional dan modern atau antara keduanya sebagai pedoman berperilaku. Selain itu perbedaan tingkat kemampuan dari kelompok-kelompok yang berbeda untuk beradaptasi terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik yang dicita-citakan bersama. Juga perbedaan orientasi kepentingan diantara kelompok-kelompok yang berbeda, yaitu antara ndividual dan kolektivitas dengan konsekuensi yang berbeda terhadap perebutan akses dan sumberdaya.
Oleh karena itu dengan mendasarkan pada realitas kemajemukan Indonesia, nurhasan berpendapat politik pembangunan hukum mestinya didasarkan pada perpaduan antara prinsip-prinsip yang bersumber dari nilai sosial modern dan tradisional atau kearifan lokal secara selektif. “Meminjam istilah dari Riggs, hukum berkarakter demikian diberi label sebagai’hukum prismatik’,” ucap pria kelahiran Madura 14 Juni 1955 ini.
Dasar pemikiran pengembangan hukum prismatik ini, menurut Nurhasan merujuk pada konsep hukum responsif yang dikemukakan oleh Philippe Noner dan Philip Selznick serta konsep hukum substantif dan hukum reflektif sebagaimana yang dikemukakan oleh Gunther Teubner, yang menilai perkembangan hukum tidaklah bersifat linier dari yang tradisional-represif kearah yang modern-otonom. Sebab hukum modern yang otonom tetap memberi tempat kepada nilai kearifan dan toleransi dari hukum tradisional agar hukum tetap berfungsi secara efektif mewujudkan keadilan bagi semua kelompok. “penggunaan nilai kearifan dan toleransi itulah yang kemudian dikonsepkan dengan hukum responsif atau hukum substantif dan hukum reflektif,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)