YOGYAKARTA- Sejarah kedokteran di Indonesia dicirikan oleh adanya kontestasi struktural antara ‘dokter sosial’ dan ‘dokter ekonomi’. Pada satu sisi, para dokter Indonesia menjadi pioneer dari gerakan-gerakan kemanusiaan yang pada kurun waktu tertentu bahkan termanifestasi sebagai pembentuk nilai-nilai kebangsaan. Akan tetapi di sisi lain para dokter ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses kapitalisasi yang berujung pada pemiskinan secara ekonomis.
“Ini tercermin misalnya pada mahalnya biaya kesehatan dan hampir tertutupnya akhir-akhir ini fungsi pendidikan kedokteran sebagai variable mobilitas sosial karena tingginya biaya pendidikan kedokteran di Indonesia,â€papar dosen ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM,Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A dalam Kongres 1 Perhimpunan Sejarah Kedokteran Indonesia (PERSEKIN), Sabtu (26/11) di Fakultas Kedokteran UGM. Kongres berlangsung 25-27 Nopember 2011.
Bambang mengatakan cita-cita ‘dokter sosial’ yang diamanatkan oleh kemerdekaan Indonesia dan konstitusi hanya menjadi trend personal bukan sesuatu yang seharusnya berlaku bagi semua. Akibatnya, berbagai permasalahan kesehatan di dalam masyarakat Indonesia sebenarnya salah satunya disebabkan oleh ideologi dan nilai kultural yang ada pada para dokter dan dunia kedokterannya yang lebih berorientasi ekonomis.
“Keadaan diperparah ketika negara membiarkan semua itu terus berlangsung dan melupakan fungsinya sesuai dengan amanat konstitusi,â€kata Bambang.
Bicara tentang sejarah kedokteran dalam pandangan Bambang bisa mencakup sejarah kesehatan dalam arti luas, yaitu hanya menempatkan kegiatan kedokteran sebagai inti tetapi bukan satu-satunya. Sejarah kedokteran akan memiliki dimensi yang banyak, baik sosial, politik, ekonomis, teknologis, atau kebudayaan.
Maka, berdasarkan kerangka berpikir tersebut strategi pertama yang harus diperhatikan dalam pembelajaran sejarah kedokteran Indonesia adalah perlu adanya kejelasan kepada siapa dan apa tujuan dari pengajaran itu diberikan. Kejelasan ini diperlukan untuk mendefinisikan sejarah kedokteran dan menentukan materi apa saja yang akan diberikan kepada para peserta didik. Strategi berikutnya adalah membagi pokok-pokok pembelajaran dalam tema-tema tertentu yang saling terkait satu sama lain serta menentukan pendekatan yang mendasari pokok-pokok pembelajaran.
“Pada tataran terakhir ini sejarah penyakit dan pengobatannya akan menjadi sesuatu yang lebih diutamakan daripada aspek-aspek lainnya,â€tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Panitia Kongres 1 PERSEKIN, Prof.Dr. dr. Sutaryo, Sp.A (K) juga melihat profesi dokter saat ini terimbas gelombang globalisasi, sebagai lanjutan kapitalisme modern. Profesi dokter lebih cenderung diposisikan dan dipandang sebagai sebuah komoditi ekonomi, tidak hanya oleh pelaku profesi tersebut, tetapi oleh institusi kesehatan, yayasan, bahkan negara.
“Ini mengkhawatirkan mengingat profesi dokter yang mulia dan terhormat. Hadirnya PERSEKIN diharapkan ikut membantu pembentukan karakter dokter dan profesi dokter kembali ke khittahnya,â€kata Sutaryo.
Kongres 1 PERSEKIN ini dihadiri para ahli sejarah, antropologi, sosiologi, dokter, residen, guru, masyarakat pecinta sejarah, dan mahasiswa (Humas UGM/Satria AN)