YOGYAKARTA – Guru Besar Ilmu pemerintahan, sekaligus Ketua jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Prof. Dr. Purwo Santoso mengatakan konflik dan manajemen konflik di Papua menjadi salah satu indikator utama bahwa kebijakan otonomi khusus (otsus) di papua belum berjalan efektif sebagaimana seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, dia mengusulkan agar pemerintah dan DPR mendesain ulang kebijakan percepatan pembangunan di Papua, melalui perlunya memasukkan konflik dan potensi konflik dalam desain percepatan pembangunan di papua.
Dibentuknya Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) oleh pemerintah menurutnya sekedar untuk menutup lubang dalam disain formal prosedur percepatan pembangunan di papua. Purwo santoso menilai, sulit bagi UP4B untuk menjalankan fungsinya karena konflik tidak menjadi pertimbangan utama dalam desain kebijakan otonomi khusus dan percepatan pembangunan di Papua.“Ini mengindikasikan bahwa desain pembangunan tidak sensitif konflik. Pemerintah seakan-akan berambisi mempercepat pembangunan di wilayah dimana prasarana untuk percepatan tidak tersedia,†katanya.
Pengamat hukum tata Negara, Mohammad Fajrul Falaakh, S.H., M.A., mengatakan dalam perspektif hukum, otsus di tanah papua adalah kerangka legal transitional justice yang diputuskan secara politis-birokratik di tingkat nasional, yang mungkin tidak sepenuhnya mewakili kondisi lokal.
Dia menambahkan, pola hubungan dan manajemen pemerintahan daerah sebagai daerah khusus dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tetapi upaya pembangunan di Papua masih menyisakan banyak masalah. “Tampaknya birokrasi lokal juga belum mendedikasikan kelimpahan dana otsus bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, terbukti tingkat kebocoran dana otsus cukup besar,†ungkapnya.
Menurutnya, pembangunan Papua harus digarap bersama sebagai bagian dari grass root development effort. “Karena pembangunan di papua bukan lagi apa kata orang Jakarta atau pejabat tinggi di daerah tapi dari tingkat akar rumput,†katanya.
Antropolog UGM Bambang Hudayana menilai masalah Papua diawali dari sikap semua pihak yang menganggap Papua sebagai wilayah yang belum beradab, sehingga harus diberadabkan dengan menginternalisasikan berbagai budaya asing yang dianggap modern atau lebih baik. Akibatnya, budaya papua yang majemuk dengan ditandai 250 suku dengan tradisi dan bahasa yang beragam dilecehkan. Padahal dengan keragaman budaya bukan lagi dilihat sebagai kelemahan tetapi kekuatan. “Untuk menghargai keragaman budaya ini dimulai dengan mengakui kebudayaan lokal yang menjadi identitas dan alat beradaptasi,†katanya.
Dia mengusulkan perlu adanya upaya keberdayaan masyarakat kampung dengan melakukan pembangunan komunitas kampung secara partisipatif, mewujudkan kemandirian ekonomi warga berbasis kearifan lokal dan pendayagunaan sumberdaya alam dan terwujudnya masyarakat multicultural diperkotaan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)