YOGYAKARTA-Pembelian saham PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) 7% oleh pemerintah melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara maupun UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dengan demikian, pembelian saham NNT 7% tersebut dengan demikian tidak perlu persetujuan DPR, karena pembelian saham tersebut merupakan kewenangan pemerintah c.q. Menkeu sesuai ketentuan pasal 41 UU No./2004 jo pasal 6 ayat (1) dan (2) PP No 1/2008.
Menurut pakar hukum bisnis UGM Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., MS. mengatakan pembelian saham tersebut bukan investasi langsung, tetapi investasi tidak langsung. Pembelian saham tersebut merupakan konsekuensi logis dari kontrak karya yang wajib didevestasi sampai 51% kepada pemerintah dan partners Indonesia lainnya per tahun 2010 lalu.
“Di samping itu, pembelian saham itu adalah realisasi dari wewenang pemerintah sebagaimana UU No 1/2004. Ini investasi saham dan bukan penyertaan modal,â€kata Nindyo pada seminar “Mengurai Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Divestasi Saham PT. Newmont Nusa Tenggaraâ€, melalui pendekatan Hukum Investasi, Hukum Perusahaan, serta Hukum Tata Negara, di Fakultas Hukum UGM, Senin (14/11).
Terkait perbedaan pandangan antara DPR dan BPK di satu pihak dengan Menteri Keuangan di pihak lain, jika benar yang dipakai dasar hukum DPR dan BPK untuk menilai pembelian saham 7% NNT tersebut pasal 45 (2) jo pasal 46 (1) huruf c UU No 1/2004, maka kesimpulannya memang pembelian saham 7% tersebut wajib mendapat persetujuan DPR.
Hanya saja dari sisi hukum bisnis, tambah Nindyo, dasar itu kurang tepat. Ia berargumen pasal 45 (2) menunjuk pada investasi langsung yaitu bentuk penyertaan modal, sedangkan pembelian saham 7% NNT tersebut adalah investasi tidak langsung yang merupakan bagian dari proses kontrak karya yang memang wajib dibeli oleh pemerintah RI atau pihak yang ditunjuk, sampai mencapai 51%.
“Tidak hanya itu, menurut saya pembelian saham 7% NNT tidak tepat jika dimasukkan dalam kategori dalam keadaan tertentu untuk penyelamatan perekonomian nasional sebagaimana pasal 24 ayat (7) UU No 17/2003. Jadi tidak perlu dengan persetujuan DPR terlebih dahulu,â€urai Nindyo.
Keadaan tertentu untuk menyelamatkan perekonomian nasional bisa dilihat antara lain ketika dilakukan buy back saham-saham BUMN Go Public di BEI sekitar bulan Oktober 2008. Buy back waktu itu memang kondisi perekonomian nasional baru mengalami goncangan (keadaan tertentu), sehingga perlu diselamatkan.
Sementara itu pakar hukum tata negara UGM, Mohammad Fajrul Falaakh, S.H., M.A., M.Sc. mengatakan yang perlu dilihat kembali dalam kasus divestasi saham PT.NNT ini antara lain penggunaan dana APBN. Apalagi hasil audit BPK terhadap divestasi NNT sebesar 7% oleh pemerintah dinilai menyalahi aturan karena menggunakan dana APBN.
“Nah, pembelian saham oleh pihak lain di luar pemerintah Indonesia nampaknya ini juga dulu ketika kontrak karya ditandatangani belum sepenuhnya dipikirkan,â€jelas Fajrul.
Sebelumnya, di tempat sama Kepala Pusat Investasi Pemerintah Saritaon Siregar kembali menegaskan bahwa pemerintah tetap yakin kebijakan pembelian saham 7% PT.NNT sesuai prosedur. Saritaon berpendapat agar silang pendapat antara dua lembaga tinggi negara DPR dan pemerintah (Menkeu) tentang boleh tidaknya pemerintah membeli saham PT.NNT tidak berkepanjangan dan ada solusi.
Keinginan pemerintah masuk membeli saham itu antara lain ingin memperbaiki dan merapian manajemen, royalty, ekspor hingga CSR nya,â€tutur Saritaon (Humas UGM/Satria AN)