Badan Akuntabiltas Keuangan Negara atau BAKN DPR RI melakukan kunjungan kerja ke Universitas Gadjah Mada. Kunjungan para anggota BAKN DPR RI ini guna mendapat masukan dari pakar UGM terkait penelaahan BAKN atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI tentang Agraria, Tata Ruang, dan Pertanahan Nasional.
Kunjungan kerja berlangsung di Balai Senat UGM, Kamis (11/11) dipimpin H. Wahyu Sanjaya, S.E selaku ketua BAKN DPR RI (F.PD), Prof. Dr. Hendrawan Supratikno, wakil Ketua BAKN DPR RI (F.PDIP) dan Dr. Hj. Anis Byarwati, S.Ag., M.Si, wakil Ketua BAKN DPR RI (F. PKS). Sementara dari UGM dipimpin Rektor, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., IPU., ASEAN.Eng, Ketua Senat Akademik, Prof. Dr. Sulistiowati, S.H., M.Hum, Ketua Dewan Guru Besar, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc, dan Sekretaris Majelis Wali Amanat, Prof. Dr. Subagus Wahyuono, M.Sc.
Turut serta dalam rombongan BAKN DPR RI antara lain H. Mukhamad Misbakhun, S.E., M.H (Anggota BAKN DPR RI/ F. Golkar), Bambang Haryadi (Anggota BAKN DPR RI/ F. Gerindra), dan Sugeng Suparwoto (Anggota BAKN DPR RI/ F. Nasdem). Juga H. Bachrudin Nasori, S.Si., M.M (Anggota BAKN DPR RI/ F.PKB), Ahmad Najib Qodratullah, S.E (Anggota BAKN DPR RI/ F. PAN), serta Dr. H.M. Amir Uskara, M.Kes (Anggota BAKN DPR RI/ F. PPP).
“Kami merasa senang menjadi salah satu tempat yang dikunjungi BAKN DPR RI terkait pembahasan soal agraria dan pertanahan di Indonesia,” ujar Rektor dalam sambutannya.
Rektor menyatakan soal agraria atau pertanahan ini banyak target dari pemerintah yang harus diselesaikan. Juga terkait percepatan pencapaian target untuk sertifikasi tanah, pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, dan berbagai upaya penyelesaian dan upaya pencegahan konflik pertanahan.
“Banyak yang harus diselesaikan termasuk juga muncul istilah adanya mafia tanah. Bagaimana kebijakan pertanahan untuk memudahkan investasi dan pemerintah menginginkan banyak investasi untuk menciptakan lapangan kerja dan lain-lain,” ungkapnya.
Dengan kemajuan teknologi informasi, Rektor berharap banyak pihak bisa memanfaatkan kemajuan teknologi informasi saat ini untuk penyelesaian urusan-urusan tanah. Dengan menggunakan big data diharapkan bisa mempercepat untuk penyelesaian urusan-urusan tanah dan lain-lain.
“Saya kira ini semua menjadi hal begitu penting sehingga perlu mendengar saran-saran dari para narasumber para akademisi,” paparnya.
Dalam kunjungan kali ini dilakukan diskusi dengan menghadirkan narassumber Prof. Dr. Maria SW. Sumardjono dan Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H., M.Si dengan moderator Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn. Diskusi bersama ini guna memperoleh masukan dan ditindaklanjuti sebagai rekomendasi untuk memperbaiki permasalahan terkait masalah pertanahan dan agraria di Indonesia.
Membahas persoalan tanah dan BPN sebagai lembaga yang memiliki kewenangan menjadi sesuatu yang menarik. Berdasar laporan ombudsman tahun 2019, bidang pertanahan menjadi lembaga yang paling banyak mendapat komplain dari banyak pihak.
Di tahun 2020 bidang pertanahan masih menjadi tiga besar bersama pemerintah daerah dan kepolisian sebagai lembaga yang mendapat komplain. Dari sudut pandang pelayanan publik yang menjadi perhatian ombudsman, bidang agraria dan pertanahan sebagai sektor yang mendapat sorotan. Sebab, sebesar 39,99 persen yang menjadi keluhan masyarakat adalah soal agraria dan pertanahan.
Nurhasan Ismail kepada DPR selaku lembaga pengawas berharap memberikan perhatian terhadap kebijakan pemberian tanah yang dinilai semakin liberal karena setiap orang yang mampu membayar akan diberikan oleh pemerintah.
Menurutnya, asal mampu membayar misalnya mau meminta 100 ribu hektare pun akan diberi. Padahal, menurutnya, persoalan ini bisa menimbulkan kesenjangan. Bukan kesenjangan antara yang memiliki dengan yang tidak memiliki tanah, melainkan kesenjangan antara kemampuan untuk mengusahakan tanah dengan finansial yang dimiliki. Sementara biaya untuk mengusahakan itu terbatas sehingga banyak tanah yang akhirnya terlantar. Kalau tanah terlantar negara pasti akan dirugikan dan tidak produktif.
“Titip itu, mohon maaf juga UU yang ditetapkan DPR pun juga mengandung semangat liberal. Jadi, UU 11 tahun 2020 itu semangat liberalnya kuat. Ya di UU-nya samar-samar, tapi masuk ke PP-nya tegas. Fungsi DPR mengawasi PP itu seperti apa? Itu yang saya tidak menjumpai. Kalau semangatnya tidak ingin liberal tetapi PP-nya liberal pasti ada sesuatu yang tidak benar pada perumusannya,” ucapnya.
Hal lain, kata Nurhasan, menyangkut mafia tanah yang terstruktur dan terorganisir. Menurutnya, mafia tanah sudah ada dan memiliki kelompok sebagai pihak yang bertindak sebagai sponsor.
Ada 2 kelompok dalam mafia tanah, mereka yang mensponsori dana dan mereka yang mensponsori secara politik kepada pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan sehingga mafia tanah ini menguasai aspek finansial dan aspek politik dan setelah itu baru pelaksana.
“Pelaksana inipun masih dibacking, mereka yang punya kekuatan oknum di TNI, oknum di Polri, dan yang ilegal adalah preman. Inipun melibatkan PPAT, Notaris, Desa, Camat, Pejabat di pertanahan dan Hakim. Mafia tanah ini bergeraknya sudah sangat sistematis, terorganisirnya dari yang paling keras ilegal metode kerjanya, sampai yang halus menyewa pengacara yang terkenal. Termasuk juga akademisi masuk dalam pantauan mafia tanah ini,” terangnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto