“Dunia berada dalam tren war and peace dimana ketika ada satu yang siap berdamai, ada banyak berperang, atau bahkan ketika negara damai mereka membangun militer untuk siap berperang.†Demikian pernyataan Jusuf Kalla yang disampaikan pada Seminar ‘Building Peace through the improvement of humanitarian diplomacy’ 12 Oktober 2011 lalu.
Terkait kondisi perang dan damai, kata Jusuf Kalla, Palang Merah Internasional memiliki dua fungsi yaitu menyediakan bantuan kemanusiaan atas konflik dan bantuan bencana alam. Sebab sejauh ini, hanya palang merah yang memiliki akses untuk benar-benar memasuki konflik dan menolong korban.”Perang yang paling mengerikan adalah perang agama, karena mereka berperang untuk mencari surga. Sehingga sulit sekali meluruskan persepsi yang ada tentang perang, yang sesungguhnya merugikan,” katanya.
Untuk itu sebagai upaya peace mediation perlu untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya dengan melakukan riset sebelumnya. Karena apa yang menjadi pengetahuan publik tidak selalu benar, sehingga perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu. Misalnya konflik Ambon dan Poso, sepintas terlihat mereka berkonflik agama, namun ternyata politiklah alasan mereka berperang. “Karenanya mereka harus bergerak secara netral, berbuat seindependen mungkin, dan mengutamakan kemanusiaan, bukan politik,” ungkap mantan Wapres RI.
Disamping Jusuf Kalla, seminar yang diadakan Institute International Committee of Red Cross(ICRC), Indonesia bekerjasama dengan International Studies Universitas Gadjah Mada, ini menghadirkan pula pembicara Vincent Nicod selaku perwakilan ICRC dan Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, Guru Besar Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Secara keseluruhan seminar membahas bagaimana pemahaman yang komprehensif mengenai krisis kemanusiaan yang sangat dibutuhkan untuk memperkuat diplomasi kemanusiaan. Lebih dari itu bagaimana agar semakin dapat berkontribusi bagi resolusi konflik dan rehabilitasi pasca bencana.
Seminar diawali dengan peresmian Programme On Humanitarian Action Institute of International Studies, dan kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Conference on Humanitarian Action Studies 2011 yang berlangsung dari tanggal 10-14 Oktober 2011. Konferensi sendiri diharapkan mampu membangun kerangka akademis bagi aksi kemanusiaan. Dalam konferensi ini, akademisi dari berbagai bidang studi bersama dengan profesional mendiskusikan aksi kemanusiaan dengan berbagai sudut pandang masing-masing. Rangkaian acara konferensi ini meliputi 3(tiga) kegiatan yakni Basic Short Course(10-11 Oktober), Seminar(12 Oktober) dan Diskusi Klaster(13-14 Oktober).
Vincent Nicod dalam seminar ini lebih banyak mengupas tentang peran yang dilakukan ICRC di daerah konflik perang. Dikatakannya diplomasi kemanusiaan yang dilakukan ICRC menjadikan ICRC wakil orang-orang yang menjadi korban. dalam situsi seperti ini ICRC seringkali dituntut bertemu berbagai pihak, entah itu para tawanan, korban, aktor yang bersengketa, para pengungsi internasional maupun tidak.
Kata Vincent ICRC dalam perannya tidak membujuk aktor-aktor berkonflik untuk berhenti berkonflik, namun berusaha membujuk agar mereka bisa mengurangi dampak dari segala aksi untuk tidak lagi melakukan kekerasan lagi. Selain itu, ICRC melakukan analisa atas situasi konflik di setiap kawasan dan menciptakan jaringan ICRC serta melakukan misi kemanusiaanya. “ICRC memang tidak terlibat dalam conflict solving seperti di ASEAN, PBB dan lain sebagainya, namun memberikan bantuan secara universal kepada siapapun yang memerlukan,” ucapnya.
Sementara Prof. Mohtar Mas’oed, Guru Besar Fisipol UGM menjelaskan mengenai berbagai intervensi kemanusiaan. Bahwa peacekeeping merupakan bentuk intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga guna mengendalikan dan mencegah korban yang jauh lebih besar. Perspektif realis memperlihatkan bahwa negara-negara yang terlibat dalam peacekeeping berusaha untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan nasionalnya bukan semata karena kebaikan. Sedangkan perspektif studi perdamaian menjelaskan negara-negara melakukan intervensi demi menghindarkan pertumpahan darah yang dianggap bertentangan dengan paham mereka, meskipun pihak-pihak berkonflik menganggap hal itu sah-sah saja. “Lain lagi dengan perspektif universalis yang menganalisa bahwa negara mengintervensi karena tindakan kolektif sejalan dengan kepentingan semua pihak untuk menyelesaikan dengan cara melibatkan pihak-pihak yang berkonflik dan dengan memperhitungkan kepentingan mereka,” tutur Mohtar. (Humas UGM/ Agung)