Indonesia merupakan salah satu negara penghasil garam di dunia. Namun sayang, meskipun memiliki potensi yang cukup besar sebagai produsen garam, Indonesia masih harus mengimpor komoditas ini untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki panjang pesisir hampir 90.000 km yang cukup berpotensi dalam menghasilkan bahan baku garam. Namun, cukup disayangkan kita masih harus mengimpor sekitar 70% garam dapur atau setara 1,63 juta ton untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negeri,†kata Guru Besar Sosek Agroindustri Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Prof. Mochammad Maksum Machfoedz, Senin (17/10), di Ruang Multimedia Kantor Pusat UGM dalam Seminar Ketahanan Pangan.
Data Departemen Perindustrian dan Perdagangan tahun 2003 mencatat kebutuhan garam nasional mencapai 855.000–950.000 ton untuk kebutuhan konsumsi dan 1.150.000–1.345.000 ton untuk kebutuhan industri. Produksi garam hanya mampu menghasilkan 307.000 ton/tahun, sedangkan industri garam rakyat hanya berkisar 1.022.000 ton.
Maksum menyebutkan Indonesia saat ini tengah terperosok dalam jebakan pangan impor. Selain garam, Indonesia juga masih harus mengimpor sejumlah kebutuhan pangan, antara lain 100% kebutuhan anak ayam umur sehari (day old chicken/DOC), 35% daging beku dan bakalan, 90% bawang putih, dan 605 kedelai. “Memang banyak ekonom yang menyatakan tidak masalah dengan impor ini. Namun, sekali lagi saat berkenaan dengan komoditas startegis dan hajat hidup 240 juta jiwa, keputusan ekspor-impor mestinya tidak hanya berbasis tata niaga dan finansial. Urusan ini harusnya dipandang sebagai urusan ekonomi politik, hak asasi dan keadilan karena implikasi sosial politiknya yang sangat luas,†tutur peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM ini.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Peternakan UGM, Prof. Ali Agus, menuturkan Indonesia perlu berjihad dalam melepaskan belenggu ketergantungan pangan dari negara lain. Arena berjihad yang bisa digarap meliputi politik pangan nasional (beras vs nonberas; lokal vs impor), politik agrarian dengan penguasaan lahan oleh petani dan politik berpihak ‘pro produsen vs pro konsumen’. Selanjutnya, dalam bidang pertanian meliputi kemandirian bibit vs monopoli supplier bibit, kemandirian pupuk (kimia vs organic), dan kemandirian sarana produksi, yang meliputi irigasi dan transportasi. Terakhir adalah di area konsumen dengan memberikan pendidikan bagi konsumen (nasionalisme) dan berperilaku memihak (lokal vs impor). (Humas UGM/Ika)