
YOGYAKARTA – Asma merupakan salah satu penyakit yang kerap ditemui pada anak. Prevalensi asma tertinggi di dunia mencapai 15-17 %. Sementara di Indonesia, prevalensi terendah didapatkan di kota Bandung yaitu 2,6 %, tertinggi di kota Jakarta 16,4% dan Yogyakarta 10,55%. Penyebab tingginya, prevalensi asma tersebut ditenggarai akibat kurangnya pengetahuan orang tua tentang asma dan penatalaksanaannya berhubungan erat peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Demikian yang mengemuka dalam ujian promosi doktor FX Wikan Indrarto di Fakultas Kedokteran (FK) UGM, Jumat (23/9). Bertindak selaku promotor Prof. Dr. dr. Sutaryo, SpA (K) dank o-promotor Prof. Dr. Djauhar Ismail, MPH., Ph.D., Sp.A(K).
Indrarto menuturkan, peran orang tua dan dokter diketahui sangat penting dalam penatalaksanaan dan pengendalian gejala klinis asma pada anak. Namun penerimaan orang tua terhadap keadaan asma pada anak, masih bergantung dari pengaruh dan karakteristik psikososial orang tua, dibandingkan pengetahuannya tentang asma. “Intervensi psikososial dalam dukungan sosial dokter lebih diperlukan untuk menghasilkan penerimaan dan kepuasaan pasien,†kata dokter di RS Bethesda Yogyakarta.
Dia menambahkan, dukungan sosial yang dilaksanakan berbagai tingkat pelayanan kesehatan, dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan seseorang, termasuk orang tua anak dengan asma. Oleh karena itu, dokter, perawat, kader kesehatan, guru dan teman sekelas dapat memberikan pendampingan untuk anak asma baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dukungan sosial sangat penting karena dari hasil penelitian, ibu dari anak yang menderita asma terbukti memiliki lebih banyak gejala depresi daripada ibu dari anak yang tidak asma. Bahkan sering mengalami stres lebih lama sepanjang hidup , sehingga dibutuhkan dukungan sosial yang lebih lengkap.
Adapun penatalaksanaan asma pada anak meliputi, pertama pencegahan munculnya gejala kronis (cacat), mempertahankan fungsi paru tetap normal atau mendekati normal, mencegah kekambuhan berulang, mengurangi kunjungan ke UGD atau rawat inap di RS, pengunaan obat dengan efek samping minimal dan terpenuhinya harapan dan kepuasaan pasien dan keluarganya dalam mengintrol gejala klinis asama tersebut.
Kedua, dukungan sosial dalam empati berupa informasi berupa pemberian penjelasan tentang situasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi oleh seseorag. Ketiga, dukungan emosional berupa ekspresi empati, misalnya bersedia mendengarkan keluhan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan, bersikap bersedia memahami, ekpresi kasih sayang dan perhatian. Dan keempat, dukungan alat bantu berupa bantuan yang diberikan secara langsung bersifat fasilitas atau materi. (Humas UGM/Gusti Grehenson)