Sistem penanganan korupsi dan UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) di Indonesia tidak rasional sehingga tidak membuat efek jera bagi koruptor. Bahkan, terlihat konyol manakala dalam UU Tipikor justru tersirat ajakan untuk melakukan korupsi.
Ketentuan di dalam UU Tipikor menyebutkan hakim hanya dapat memvonis denda kepada koruptor maksimal 1 miliar rupiah. “Dengan begitu, kalau mau untung, korupsilah di Indonesia. Ketentuan denda maksimal seperti itu jelas membuat orang akan senang melakukan korupsi di Indonesia dengan jumlah besar karena pasti akan untung,” ujar ekonom UGM, Rimawan Pradiptya, Ph.D., di sela-sela Seminar Ekonomika dan Bisnis Keperilakuan, yang digelar di FEB UGM, Kamis (22/9).
Dengan sistem dan undang-undang yang tak rasional, jangan berharap orang-orang atau masyarakat juga akan bertindak rasional. “Karenanya diperlukan perombakan besar-besaran hingga ke cara berpikir jika kita ingin membenahi sistem perekonomian maupun ingin menghilangkan korupsi di negeri ini,” katanya.
Akibat tindak pidana korupsi, menurut Rimawan, negara harus menanggung kerugian sebesar 73,07 triliun rupiah sejak 2001 hingga 2009. Dari kerugian sebanyak itu, potensi yang dapat dikembalikan hanya 5,32 triliun. “Artinya para pembayar pajak yang taat maupun masyarakat pada umumnya harus menanggung kerugian sebesar 67,75 triliun rupiah yang tak mungkin kembali,” tutur Rimawan.
Revisi UU Tipikor pun terlihat makin konyol manakala penggelapan uang negara tidak melebihi 25 juta rupiah bukan dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Pada versi UU sebelumnya, batasan tersebut tidak melebihi 5 juta rupiah. “Orang pun pasti akan berpikir bisa mencuri-curi uang negara. Ini bukti kebobrokan sistem perekonomian di Indonesia, yang tak lagi sistemik melainkan sudah struktural. Bahkan, maraknya korupsi bukan lagi sebagai kecelakaan tapi sudah by design,” imbuh Rimawan.
Sementara itu, Wakil Direktur Bidang Akademik Program MSi-Doktor FEB UGM, Dr. Arti Adji, mengemukakan dengan kondisi perekonomian seperti ini, teori-teori ekonomi konvensional tak lagi dapat menjawab permasalahan. Diperlukan kajian ekonomis di Indonesia dengan memakai analisis behavioral economics atau ekonomi keperilakuan daripada teori-teori ekonomi Barat yang kurang sesuai. “Artinya dengan perilaku masyarakat Indonesia seperti sekarang ini akan lebih tepat jika dianalisis menggunakan behavioral economics,” tambahnya. (Humas UGM/ Agung)