YOGYAKARTA – Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc., menilai lonjakan harga bahan kebutuhan pokok dan komoditas pertanian menjelang lebaran terus meningkat tajam. Meski ditengarai akibat meningkatnya kebutuhan masyarakat dalam menghadapi lebaran, kenaikan harga tersebut dinilai tidak wajar dan membebani rakyat kecil. “Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena menyangkut kebutuhan dasar rakyat yang sedang menjalankan ibadah puasa,†kata Maksum dalam seminar di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK), Kamis (4/8) sore.
Maksum mengatakan beberapa komoditas barang kebutuhan pokok melonjak tajam. Berdasarkan hasil pengamatannya, kenaikan harga beras telah menyebabkan inflasi sebesar 22 persen, diikuti daging ayam sebesar 19 persen. Berikutnya, kenaikan harga daging sapi, gula, dan kacang tanah. “Harga pasar beberapa komoditas pangan justru semakin tidak terjangkau publik. Kalau daging sapi, harganya lebih melejit lagi,†katanya.
Untuk beras, menurut Maksum, merupakan komoditas paling strategis. Namun, pengelolaan komoditas pangan pokok ini tidak pernah dibenahi secara serius. Kebijakannya pun terkesan ‘tambal-sulam’. Ia mencontohkan surplus produksi besar sejumlah 3,9 juta ton tahun 2010 tidak serta-merta menjadikan pemerintah upaya menghentikan kebijakan impor beras. Sebaliknya, pemerintah mengimpor 2 juta ton beras, bahkan akumuluasi surplus beras diperkirakan mencapai 11,9 juta ton pada akhir 2011 dan ditambah 6 juta ton surplus produksi. “Kebijakan impor ini justru menjadikan petani tidak sejahtera. Di sisi lain, pemerintah menginginkan harga beras murah,†katanya.
Meski kebijakan importasi merupakan kegiatan lumrah dalam tata niaga, untuk urusan beras tidak semata hanya masalah ekonomis, apalagi menilai harga beras impor lebih murah. “Prinsip ini sangat menyesatkan karena dalam sebutir beras terdapat pula urusan politik, kedaulatan, keadilan,†katanya.
Oleh karena itu, kebijakan impor beras seharusnya ditinjau ulang oleh pemerintah dalam rangka memproteksi petani dan pertanian domestik untuk menjaga keberlanjutan produksi beras di tengah kelangkaan pangan dunia. Kini, hampir setiap negara melakukan kebijakan protektif dan menekan ekspor dalam rangka kedaulatan dan keamanan pangan masing-masing. Thailand dan Jepang, misalnya, menerapkan kebijakan proteksi produksi berasnya, Rusia dengan kebijakan terigunya. Sementara itu, Amerika, Australia, dan beberapa negara Eropa melindungi produksi ternak sapi. “Perang pangan pun sudah dimulai. China dan India telah melakukan pengeuatan cadangan multiyears,†katanya.
Maksum menyarankan agar kebiasaan impor beras yang dilakukan pemerintah segera diakhiri. “Pilihannya memang tidak mudah. Semua ada kosekuensinya. Yang tidak bisa ditawar adalah makin susah dan mahalnya impor, apalagi sampai mematikan ekonomi petani, mayoritas warga bangsa ini,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)