YOGYAKARTA-Korupsi, khususnya korupsi politik, tampaknya menemukan tempat berkembang yang subur di Indonesia. Sementara itu, demokrasi di era reformasi tidak dapat menghentikan atau setidaknya mengurangi penyalahgunaan wewenang para politisi yang tidak jujur. Jatuhnya rezim Orde Baru ternyata tidak secara otomatis membawa perbaikan yang signifikan terhadap ‘the state of corruption’ di Indonesia.
Mencuatnya kasus Nazaruddin, misalnya, merefleksikan dengan tepat pernyataan bahwa korupsi politik sesungguhnya adalah ‘business as usual’, baik di tingkat nasional maupun lokal, dengan dua tujuan utama ialah akumulasi kekayaan dan/atau pelestarian kekuasaan. “Oleh karena itu, tidak mengherankan jika korupsi menjadi salah satu alat yang ampuh, sekaligus terpercaya untuk memuaskan kepentingan banyak pejabat publik dan elit politik,†kata pengamat politik dari Institute of International Studies (IIS) Fisipol UGM, Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, M.A.(IR), Jumat (22/7).
Nur Rachmat menambahkan korupsi politik di Indonesia masih akan terus berkembang jika kompetisi politik yang dibangun oleh partai politik hanya sekadar untuk melanggengkan kekuasaan saja. Korupsi politik berskala besar, menurut Nur Rachmat, akan lebih sulit diberantas terutama dalam jangka panjang. Sedikit berbeda jika dibandingkan dengan pemberantasan korupsi skala kecil (petty corruption) yang mungkin dapat ‘disembuhkan’ dalam jangka panjang. “Korupsi politik skala besar nampaknya akan sulit melihat di mana ia akan berakhir. Apalagi bila kita yakin pada ide bahwa di Indonesia korupsi adalah ‘cara untuk menjalankan politik’,†ujarnya.
Dalam pandangan Nur Rachmat, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sama halnya dengan pemerintahan sebelumnya, yakni di zaman Megawati ataupun Gus Dur, yang belum banyak memberikan terobosan dan hasil konkret pemberantasan korupsi. Presiden SBY hanya mampu mengungkap maraknya korupsi yang telah dilakukan oleh para kepala daerah di tingkat lokal. “Seolah-olah SBY memang hanya meneruskan untuk membersihkan keranjang sampah yang tersisa,†ujar dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional (HI) UGM tersebut.
Sayangnya, meskipun berbagai kasus korupsi politik dan birokratik marak terjadi, pemerintahan SBY tidak tegas bertindak. Dalam pandangan Nur Rachmat, pemerintah saat ini dalam kondisi tersandera. Ini terbukti ketika Nazaruddin yang tengah dicari oleh KPK dan polisi dengan mudahnya melakukan komunikasi dan wawancara di televisi dan BBM. Kondisi ini jauh berbeda dengan kebijakan yang diterapkan di China, yang menerapkan tindakan tegas terhadap para pelaku korupsi, misalnya dengan hukuman mati.
Khusus bagi Partai Demokrat, kasus Nazaruddin merupakan tamparan paling keras terhadap lembaga sekaligus kepada figur sentral SBY, yang pernah menetapkan tahun 2005 sebagai tahun pemberantasan korupsi dan berjanji dalam kampanye pilpres tahun 2009 akan berdiri di garis terdepan dalam memberantas korupsi. Nur Rachmat menegaskan jika tidak ingin sistem politik di Indonesia ‘membusuk’ karena kanker korupsi, dibutuhkan kerja keras semua elemen bangsa, termasuk kemauan politik yang tegas dan kuat dari pemerintah, untuk melawan korupsi dengan serius dan bertanggung jawab. (Humas UGM/Satria AN).