YOGYAKARTA-Bangsa yang ingin maju, berdaulat, dan sejahtera membutuhkan karakter yang kuat. Sebagai contoh, Korea menjadi bangsa yang kuat dan makmur karena setiap warga negaranya dididik secara sistematis untuk berpikir ke depan (visioner), memiliki etos kerja keras yang tinggi, dan selalu berjuang.
Dulu, Korea masih dalam kondisi miskin, terpuruk, dan terjajah. Namun, sekarang negara itu bangkit dan maju menjadi negara yang progresif dan ekspansif karena setiap generasi mudanya diberikan pendidikan karakter yang berpijak pada sejarah perjuangan Korea melawan penjajahan. “Mereka menanamkan nilai-nilai karakter kepada generasi mudanya untuk selalu bekerja keras, pantang menyerah. Korea adalah bangsa yang unggul, cerdas, dan berdaulat,†kata peneliti pada Pusat Studi Pancasila, Hastangka, dalam diskusi mingguan yang diadakan oleh Pusat Study Club UGM, Kamis (21/7).
Hastangka mengatakan hal yang sama juga terjadi di Jepang dan China. Jepang maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi karena mempunyai semangat untuk bersaing, berkompetensi, berinovasi dilandasi dengan semangat perjuangan, kerja keras, dan berdikari. Sama halnya dengan China, yang tidak mau kalah dengan Jepang perihal teknologi. Oleh karena itu, China sering dikenal dengan negara peniru (penjiplak), seperti yang dapat kita lihat, apa yang diproduksi oleh Jepang pasti bentuk dan modelnya ada di China. “Meskipun dikatakan sebagai negara komunis di Asia, China memiliki karakter untuk tidak mau kalah dengan bangsa lain, mempraktikkan ekonomi berdikari, dan melegitimasi sebagai bangsa yang unggul dalam ekspansi pasar global dan berdaulat,†tuturnya.
Sementara itu, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen dan pluralis. Dengan kondisi bangsa yang beragam dan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara serta memiliki basis ideologi Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa yang kokoh, potensi untuk menjadi bangsa yang unggul, berdaulat, dan berdikari sangat besar. Menurut Hastangka, pendidikan karakter perlu menjadi perhatian yang serius dan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk menjadi bangsa yang berdaulat, berdikari, dan unggul, setiap generasi muda harus memiliki karakter Pancasila.
Hasil Tim Kajian PSC PSP UGM (2011) menyimpulkan karakter Pancasila mencakup karakter nasional dan global, yakni etos kerja yang tinggi, bekerja keras, cinta tanah air, nasionalis, cerdas, kreatif, kritis, inovatif, bertanggung jawab, adil, bijaksana. Selain itu, karakter lainnya ialah bermental pemberani (patriotik), tekun, berwawasan kebangsaan dan global. Karakter berikutnya adalah visioner, mampu membuat pilihan dalam hidup, rukun, ramah, saling menghargai, jujur, sportif, dan tangguh. “Kita itu bukanlah bangsa kelas kedua, bangsa yang mudah diperbudak, bangsa yang bodoh, dan bangsa yang tidak mandiri. Untuk itu, pendidikan karakter harus ditujukan untuk menjawab tantangan zaman, bukan hanya sekadar bereaksi atas permasalahan bangsa Indonesia yang dihadapi sekarang ini,†kata Hastangka.
Pentingnya pendidikan karakter Pancasila tidak sebatas untuk menanggapi isu-isu aktual dan dijadikan sebagai komoditas iklan pendidikan, tetapi ada capaian-capaian masa depan yang harus diraih, yakni membangun bangsa yang berdaulat, mandiri, dan unggul. “Sebagai salah satu contohnya, Universitas Gadjah Mada sebagai universitas perjuangan tidak akan berdiri megah dan berkembang pesat seperti sekarang ini apabila para pendiri universitas pada masa itu hanya sekadar berpangku tangan, belajar seperti ala kadarnya, dan tidak memiliki semangat untuk maju dan membangun negeri,†tuturnya.
Di akhir diskusi, ia mengatakan untuk membangun karakter Pancasila diperlukan faktor pendukung, yaitu keteladanan, karena selama ini bangsa Indonesia sedang dilanda krisis keteladanan. Terkait dengan hal tersebut, Tim Kajian PSC PSP UGM menemukan setidaknya ada 12 faktor yang dominan dalam proses pembentukan dan pembinaan karakter, yakni guru, selebritis/artis, pejabat, tokoh masyarakat, teman sejawat, orang tua, media cetak, media elektronik, lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat), tokoh agama, tokoh intelektual, dan politisi. Tanpa adanya dukungan faktor-faktor tersebut, pendidikan karakter Pancasila yang selama ini disuarakan hanya akan berjalan di tempat. (Humas UGM/Satria AN)