YOGYAKARTA-Legong Keraton sebagai genre tari tradisional Bali dalam klasifikasi tari untuk tontonan, pada awal kemunculannya (paruh kedua abad XIX) lebih dikenal sebagai kesenian ‘milik’ puri. Selanjutnya, sejak awal abad XX, Legong Keraton (Legong tradisi) mulai menyebar ke masyarakat di luar puri, mengalami perubahan pada bentuk dan struktur penyajiannya hingga muncul varian Legong yang kemudian disebut sebagai Legong kreasi.
Saat ini, keberadaan Legong tradisi masih tetap eksis, hidup berdampingan dengan Legong kreasi dan tari kreasi lainnya yang ‘datang-hilang’. Bentuk-bentuk pengaruh Legong Keraton dapat dilacak pada genre tari Kebyar atau kekebyaran, sendratari, dan tari kreasi lainnya. “Justru keberadaan Legong sebagai sumber penciptaan tari di Bali ternyata melampaui Gambuh yang selama ini dipandang sebagai cikal-bakal tari Bali,†kata Ni Nyoman Sudewi dalam ujian doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (21/7). Dalam ujian doktor itu, Sudewi mempertahankan disertasinya yang berjudul ‘Perkembangan dan Pengaruh Legong Keraton terhadap Pertumbuhan Seni Tari di Bali pada Periode 1920-2005’.
Dalam disertasinya, Sudewi mengatakan kehadiran Legong Keraton yang mengusung konsep estetika berbeda dari genre tari periode sebelumnya, dipandang sebagai pemicu awal terjadinya perubahan estetik bentuk seni pertunjukkan (tari) Bali. Legong tradisi ini memiliki variasi bentuk dan kualitas gerak yang memungkinkan terbentuknya fleksibilitas tubuh penari dalam bergerak, pada masa sekarang mempelajari ataupun mementaskan Legong Keraton seolah-olah menjadi sebuah keharusan bagi perempuan penari di Bali.
Sudewi menambahkan dalam rentang tahun 1920 hingga 2005, ada beberapa capaian penting sebagai referensi yang menjelaskan Legong Keraton telah mengalami perkembangan. Legong Keraton menyebar ke berbagai wilayah budaya mengalami perubahan terutama pada elemen bentuk dan struktur penyajiannya. “Perubahan yang terjadi mengarah pada penguatan tradisi,†kata perempuan kelahiran Singaraja, 15 Agustus 1958 tersebut.
Dosen Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukkan ISI Yogyakarta itu menjelaskan sebagian pandangan masyarakat seniman di Bali, yang menilai Legong Keraton sebagai produk budaya masa lalu, tidak dapat dipungkiri telah memberi kontribusi yang cukup signifikan bagi pertumbuhan tari di Bali. Legong Keraton memiliki kemampuan bertahan sekaligus mempengaruhi ataupun menginspirasi kehadiran karya-karya baru, tidak hanya menginspirasi kelahiran tari baru, tetapi juga menginspirasi para pelukis dan fotografer dalam melahirkan karya-karyanya. “Legong ditransmisikan dari generasi ke generasi sebagai tarian yang sangat disarankan untuk dikenal dan dikuasai oleh mereka (terutama perempuan penari) yang mempelajari tari Bali, baik melalui lembaga pendidikan formal maupun nonformal,†imbuh Sudewi.
Dari hasil penelitiannya yang menggunakan pendekatan etnokoreologi dan didukung teori dari disiplin tari, sejarah, antropologi, dan sosiologi itu, Sudewi berharap sebagai kekayaan budaya yang sudah mengakar kuat, terutama di masyarakat Bali, harus tetap dilestarikan. Semua elemen masyarakat yang terkait perlu bekerja keras, bersama-sama menjaga Legong Keraton agar terhindar dari kepunahan ataupun tergerus oleh modernisasi yang tidak selaras dengan nilai-nilai tradisi Bali.
Keberadaan Legong Keraton sebagai seni tradisi perlu dipahami dan dipertimbangkan dengan menggunakan cara pandang hidup masa kini sehingga dapat menjadi kekayaan budaya yang berguna bagi masyarakatnya. Hal ini selain akan memberi ruang gerak bagi tumbuhnya kesenian baru, juga berarti generasi penerus tidak harus mengikuti atau menerima begitu saja segala sesuatu yang pernah dicapai pendahulunya.
Setelah menjalani ujian doktor di hadapan tim penguji, Prof.Ir. Suryo Purwono, M.A.Sc., Ph.D., Prof. Dr. Kodiran, M.A., Prof. Dr. Djoko Suryo, M.A., Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc., Prof. Dr. Hermien Kusumayati, S.S.T., S.U., Prof. Dr. Tati Narawati, M.Hum., Prof. Dr. R.M. Soedarsono, Prof. Dr. I Made Bandem, dan Prof. Dr. I Wayan Dibia, S.S.T., M.A., akhirnya Ni Nyoman Sudewi dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. (Humas UGM/Satria AN)