YOGYAKARTA- Perubahan cuaca merupakan isu global dan telah menjadi masalah yang kronis. Karakter dampak perubahan iklim ialah perubahan suhu rata-rata global, perubahan presipitasi/curah hujan, kenaikan level permukaan laut dan kenaikan suhu, serta kejadian-kejadian ekstrim lain, seperti siklon, angin rebut, dan banjir.
Dampak perubahan iklim terhadap budidaya perikanan bisa secara langsung dapat mengubah fisiologi, perilaku dan pertumbuhan, kemampuan reproduksi, kematian ikan, dan produktivitas. Secara tidak langsung, perubahan iklim dapat mengubah ekosistem aquatic sebagai tempat hidup, stok dan suplai ikan, barang dan jasa yang diperlukan dalam budidaya perikanan.
Untuk mengurangi kerentanan budidaya perikanan dari dampak perubahan iklim sangat diperlukan adaptasi dan mitigasi. “Adaptasi dan mitigasi pada skala yang sesuai pada tingkat individu, keluarga, institusi pemerintah, baik lokal, nasional dan global, dengan menetapkan rencana penanganan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang,†tutur Guru Besar Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Rustadi, M.Sc., saat menyampaikan paparan dalam Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan di Auditorium Fakultas Pertanian UGM, Sabtu (16/7).
Rustadi menambahkan penanganan dampak perubahan cuaca pada dasarnya untuk menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan yang berkelanjutan. Sementara isu-isu negatif dalam budidaya perikanan juga perlu ditangani, meliputi pelepasan dan perubahan genetik pada stok ikan liar, pengubahan lahan hutan bakau, limbah yang menurunkan kualitas air lingkungan, wabah parasit dan penyakit, bahan residu dan biosecurity (keamanan biologi). “Dengan begitu, budidaya perikanan berkelanjutan harus memprioritaskan, antara lain, pada budidaya perikanan yang sesuai daya dukung serta pengembangan sistem budidaya terpadu,†katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Rustadi juga mengatakan pertumbuhan jangka panjang industri budidaya perikanan membutuhkan praktik-praktik manajemen kegiatan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ia menilai banyak pembudidaya/pengusaha budidaya pada tahun-tahun terakhir ini telah mengadopsi praktik kehati-hatian, khususnya yang menyangkut lingkungan. Namun, di negara-negara miskin ataupun berkembang praktik kebijakan itu masih belum memungkinkan secara ekonomi, sosial, dan politik.
Sementara itu, Kepala Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, Dr. Ir. Endhay Kusnendar, M.S., dalam acara tersebut mengakui adanya citra kurang baik produk tradisional hasil perikanan karena diolah dengan tingkat sanitasi dan hygiene rendah, mutu dan kesegaran bahan mentah rendah, keamanan tidak terjamin, teknologi turun temurun, dan kemampuan manajemen kurang memadai. Untuk itu, produk diarahkan untuk memperbaiki citra dan membuatnya dikenal lebih luas. “Ini bisa dilakukan, misalnya, dengan pola OVOP, menciptakan image indrawi produk, kemasan lebih baik dan dikaitkan dengan kegiatan wisata,†kata Endhay.
Selain itu, dalam pengembangan produk perikanan sejauh ini juga masih dijumpai beberapa kendala, antara lain, ketersediaan bahan mentah secara kualitas dan kuantitas, tingginya keragaman jenis sumber daya, dan masih terbatasnya industri pengolahan perikanan yang memiliki tim pengembangan produk. (Humas UGM/Satria AN)