YOGYAKARTA – Gejala perubahan iklim telah menjadi perhatian serius semua kalangan, tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga sektor swasta, LSM, dan masyarakat luas. Secara nasional, pemerintah telah menetapkan target penurunan emisi gas karbon di Indonesia antara 26-41% pada tahun 2020. Tidak mungkin bergantung kepada pemerintah untuk mencapai target itu. Oleh karena itu, diperlukan dukungan dan partisipasi aktif dari sektor swasta, LSM, akademisi, dan pemerhati lingkungan.
Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan dalam upaya pelestarian lingkungan sangat mendukung upaya pemerintah untuk menurunkan emisi karbon. Namun, tidak semua program CSR memberikan kepedulian akan pelestarian lingkungan. Dana yang telah dikeluarkan tersebut bahkan tidak dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat karena program CSR tidak terencana dengan baik. “Banyak dana CSR tidak ada manfaat langsung dalam pengelolaan lingkungan akibat tidak adanya perencanaan dengan baik. Tidak semua dana CSR bisa dimanfaatkan masyarakat,†kata peneliti program pemberdayaan masyarakat pada Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM, Jajang Agus Sonjaya, dalam diskusi program ‘CSR dan Upaya Pelestarian Lingkungan’, yang dilaksanakan di kampus UGM, Kamis (14/7).
Dalam penelitiannya, ia menemukan sebuah perusahaan besar di Kalimantan Timur yang menyediakan 50 miliar setiap tahun untuk kegiatan CSR. Namun, dana tersebut tidak ubahnya sebagai bentuk ganti rugi kepada masyarakat atas kerusakan lingkungan yang telah dilakukan oleh perusahaannya. “CSR masih dimaknai sebagai derma yang harus diberikan, tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Apalagi perusahaan mengeluarkan dana tersebut sebagai kewajiban, bukan karena niat baik,†tambahnya.
Tokoh penggerak hutan rakyat daerah Gunung Kidul, Sudiyo, menuturkan keberadaan hutan yang lestari bergantung pada masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Menurutnya, mitos dan kearifan lokal menjadi alasan masyarakat masih menjaga hutan. “Di hutan Wonosadi (Gunung Kidul) ada pesan bahwa bagi yang merusak akan terjadi bencana. Hutan dianggap mampu menyimpan air, maka kesadaran (menjaga hutan) muncul dengan sendirinya,†katanya.
Direktur Bakti Lingkungan Djarum Foundation, Handojo Setyo, menuturkan CSR yang dilakukan PT Djarum tidak didasarkan pada munculnya aturan dari pemerintah yang mewajibkan perusahaan untuk melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan. Namun, kegiatan serupa CSR sudah dilakukan jauh sebelum itu. “Kegiatan pertama perusahaan ini menghijaukan Kota Kudus tahun 1979 hingga 1986,†ujarnya.
Saat ini, Djarum Foundation rutin menanam mangrove di sekitar pantai Semarang dan Demak. Bahkan, pada tahun 2010 lalu telah dilakukan penanaman 2.767 pohon trembesi di sepanjang jalan Semarang-Kudus. “Sebelum 2014 kita targetkan 15 ribu pohon,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)