Balita kekurangan gizi memiliki beberapa ciri, antara lain, berat badan di bawah normal, kurus, rambut kemerahan, dan perut buncit. Ciri lainnya adalah wajah moon face karena oedema (bengkak) atau monkey face (keriput). Kondisi tersebut menyebabkan balita rewel/cengeng dan kurang responsif.
Menurut Prof. Dr. Ir. Endang Sutriswati Rahayu, M.S. bila kondisi kurang gizi ini berlangsung lama akan berpengaruh pada kecerdasan. Selain itu, berdampak pula terhadap pertumbuhan fisik dan mental balita. “Anak kelihatan pendek, kurus, dibandingkan teman-teman sebayanya yang lebih sehat. Ketika memasuki usia sekolah, ia tidak mampu berprestasi menonjol karena kecerdasannya terganggu,” ujarnya di Auditorium LPPM, Kamis (9/6), dalam 90 Minutes Seminar on Knowledge Partnership bertema ‘Pengembangan Sumber Daya Alam Lokal sebagai Bahan Baku Utama dalam Mendukung Perindustrian Nasional’.
Dikatakan Endang bahwa kondisi kurang gizi dan gizi buruk disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor paling mendasar ialah pendapatan yang sangat rendah dan kemiskinan sehingga berpengaruh terhadap persediaan pangan di tingkat rumah tangga. Di samping itu, faktor lainnya adalah pengetahuan ibu tentang gizi yang sangat jauh dari harapan. “Pola pengasuhan anak yang belum sehat inilah yang menjadikan konsumsi makanan tidak mengikuti kaidah gizi dan kesehatan, yang kemudian berpengaruh pada kondisi kesehatan anak,” terangnya.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila masih banyak ditemui kasus balita dalam kategori gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia. Data Susenas tahun 2007 mencatat kasus kategori gizi kurang mencapai 13% dan gizi buruk 5,4%, dengan total 18% dari 18 juta balita. Data ini mengandung arti terdapat sekitar 1 juta balita dengan kategori gizi kurang ataupun gizi buruk. “Oleh karenanya, peningkatan gizi balita ini dapat dilakukan melalui penyediaan makanan bergizi dengan harga yang terjangkau masyarakat luas. Dengan upaya ini tentu akan mendukung program pemerintah dalam rangka menyiapkan SDM yang berkualitas,” katanya.
Mengupas subtema “Menyelamatkan Generasi Mendatang dengan Ketercukupan Makanan Bergizi, Berimbang, dan Terjangkau”, Endang Sutriswati berharap ada formula bubur bayi berbasis kedelai lokal dengan menambah vitamin dan mineral, dengan mempertimbangkan harga yang murah sehingga terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Sebagaimana yang telah dilakukan PT Sari Husada yang gencar mengembangkan kedelai anjasmoro di kalangan petani di DIY dan Jawa Tengah. “Tidak hanya bubur, namun bisa pula susu dan lain-lain. Semua itu bisa dilakukan dengan mempersiapkan penyediaan kedelai lokal yang berkelanjutan, mulai dari pemilihan benih, budidaya, dan pascapanen dengan menaati kaidah-kaidah secara best practise,” tambahnya.
Ahmad Yama, Sourcing and Suppliers Development Buyer PT Sari Husada, memiliki harapan yang sama. Olahan kedelai diharapkan mampu sebagai pengganti susu dan makanan (MPASI). “ASI memang makanan terbaik untuk bayi. Namun, untuk kondisi si ibu tidak dapat memberikan ASI secara maksimal, pilihan berikut adalah susu formula berbasis susu,” ujar Ahmad Yama.
Pada kondisi bayi alergi dengan susu sapi atau bayi dengan lactose intolerance, formula berbasis kedelai (Soy Based Infant Formula/SBIF) merupakan pilihan tepat. SBIF diakui sebagai alternatif pengganti susu sapi untuk bayi. Untuk itu, melalui program corporate social responsibility (CSR), PT Sari Husada menggandeng sejumlah pihak di UGM dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk bersama-sama mengembangkan penelitian terkait dengan pengembangan tanaman kedelai untuk memasok kebutuhan bahan pangan pendamping ASI.
Dengan skema khusus, PT Sari Husada melakukan program pembinaan kepada petani. Untuk keberhasilan program ini, PT Sari Husada telah melakukan kontrak untuk pembelian hasil produksi kedelai petani di sejumlah daerah. “Kebijakan kontrak diambil agar saat ada panen raya kedelai, petani tetap mendapatkan harga yang tinggi di saat harga di pasaran jatuh,” pungkas Ahmad Yama. (Humas UGM/ Agung)