Peraturan Daerah (Perda) merupakan peraturan terendah dalam sistim hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Meski begitu ia memiliki arti yang strategis dalam rangka memberi isi otonomi daerah. Pada prinsipnya berbagai ketentuan pengaturan dalam Perda akan mengejawantahkan urusan pemerintahan di daerah.
“Sayangnya dalam perkembangan pelaksanaan otonomi luas, keberadaan Peraturan Daerah yang strategis tersebut belum dapat diaktualisasikan sebagaimana mestinya,” papar Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum, Kamis (21/4) saat menempuh ujian terbuka program ilmu hukum UGM.
Dalam desertasi “Aktualisasi Pengaturan Wewenang Mengatur Urusan Daerah Dalam Peraturan Daerah, Studi Periode Era Otonomi Seluas-Luasnya” diuraikan berbagai peraturan daerah yang diterbitkan sepanjang pelaksanaan otonomi luas tahun 2001, senantiasa menjadi sorotan sebab implementasi wewenang mengatur daerah dalam Perda belum mencerminkan tujuan diberikannya otonomi secara luas. Sementara penggunaan wewenang daerah mengatur urusan berkorelasi dengan pengaturan pembagian urusan yang menjadi kewenangan daerah.
Enny mengatakan meski menganut prinsip otonomi riil, dalam format sentralistik daerah memiliki kewenangan limitatif yang tidak memungkinkan mengatur dan mengurus urusan daerahnya secara leluasa. Sebab kebijakan pembangunan dalam sistim sentralistik mendorong penetrasi negara, yang tidak memungkinkan adanya keleluasaan daerah dalam mengatur.
“Kondisi ini diperkuat adanya jalur pengawasan preventif (vertikal), yang kemudian melahirkan produk hukum di daerah dengan tingkat uniformitas tinggi. DPRD pun tidak dapat berbuat banyak, bahkan pemerintah daerah ibarat ‘penonton’, karena sekalipun daerah memiliki kekayaan sumberdaya alamtetapi tidak memiliki kewenangan mengatur dan mengurus urusan sesuai dengan kondisi riil,” katanya di Fakultas Hukum UGM.
Oleh karena itu akumulasi pembatasan wewenang ini memicu ketegangan pusat dan daerah, dan mencapai puncaknya saat era reformasi. MPR pun mengakui bahwa penyelenggaraan otonomi daerah selama ini belum dilakukan secara proporsional sesuai dengan prinsip demokrasi dan keadilan. “Agenda reformasi telah mengubah, terlebih dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999, yang menerapkan otonomi seluas-luasnya,” ujar Kepala Bidang Hukum dan Tata Laksana UGM.
Lagi-lagi sayang, kata Enny, perubahan ini berlangsung tanpa diikuti dengan masa transisi yang memadai. Daerah dinilai tidak memiliki kesiapan menerima proses desentralisasi secara “utuh” untuk kabupaten/kota.
Bahkan berbagai peraturan perundang-undangan sektoral pun masih mendasarkan pada paradigma sentralistik. Dalam koteks ini daerah dihadapkan pada pilihan antara menerapkan norma hukum pemerintahan daerah atau norma hukum sektoral. “Perda sepertinya menanggung ‘beban’ karena pembentukkan harus mendasarkan pada berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” ungkap wanita kelahiran Pangkal Pinang, 27 Juni 1962 ini.
Berawal dari kondisi ini, pelaksanaan otonomi daerah menuai ketidaktertiban penerbitan produk hukum, yang ditandai dengan adanya kasus pembatalan Perda. Daerah dinilai tidak memahami kapan Perda mestinya dibentuk dalam rangka menjalankan kewenangan luasnya. Disamping itu pembentuk Perda tidak memahami lingkup materi muatan Perda sebagai implementasi kewenangan daerah. “Terlebih lagi dengan adanya duplikasi dan inkonsistensi pengaturan materi muatan Perda antara UU No. 10 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004, serta UU No. 32 Tahun 2004 yang membatasi materi muatan Perda sekaligus memperketat pengawasan,” pungkas istri R. Sumendro, S.H, ibu dari Putri Prajaningrum Nurendra ini. (Humas UGM/ Agung)