Jati diri UGM sebagai Pusat Kebudayaan menghadapi isu belum dapat diaktualisasikan secara optimal baik implisit maupun eksplisit. Hal ini merupakan akibat dari kurangnya dukungan jati diri UGM sebagai Universitas Kebudayaan.
Pada hakikatnya, kebudayaan memiliki peran dan fungsi sangat sentral dan penting dalam mengarahkan sekaligus memberikan orientasi terhadap setiap usaha untuk mencapai tujuan jati diri UGM.
“Kita bisa mencermati dalam statuta ugm ada 5 jati diri. Yang pertama sebagai Universitas Nasional, sebagai Universitas Perjuangan, Universitas Pancasila, Universitas Kerakyatan, namun sebagai Universitas Pusat Kebudayaan jarang terdengar aktualisasinya,” ungkap Prof. Ir. Tarcicius Yoyok Wahyu Subroto, M.Eng., Ph.D., Dosen Teknik Arsitektur UGM, dalam Forum Diskusi Pemikiran Bulaksumur pada Kamis(29/10) malam.
Jati diri artinya bawaan esensial yang bersifat tetap dan tidak berubah. Di sisi lain, identitas UGM dibentuk secara sosial dan historis serta dapat berubah. UGM sebagai Pusat Kebudayaan artinya menjadi tempat pelestarian dari pengembangan kebudayaan Indonesia, agar warga masyarakat Indonesia menjadi insan yang berbudi luhur dan berwawasan nasional.
Prof. Dr. Ida Rochani Adi, S.U., Dosen FIB UGM, menjelaskan saat ini arus global menjadi tantangan bagi jati di UGM sebagai Pusat Kebudayaan.
“Jangan sampai jati diri UGM sebagai Pusat Kebudayaan hanya menjadi pembeda dengan universitas lain dan hanya sebagai branding yang menjadi instrumen untuk menaikkan daya saing,” ujar Ida
Menurutnya terdapat 4 poin utama yang dapat menjadi aktualisasi jati diri UGM sebagai Pusat Kebudayaan yaitu lintas disiplin, inklusifitas, pemberdayaan, dan membangun pesona.
“Kita seharusnya melihat bahwa UGM berada di dalam satu sistem yaitu kebudayaan Indonesia,” paparnya.
Ekosistem Kebudayaan antara lain lingkup sistem kepercayaan, organisasi sosial, komunikasi, mata pencaharian, pendidikan, kesehatan, kesenian, pengetahuan dan teknologi, tata boga, hingga tata busana dan keseluruhan komponen berkaitan erat terhadap etnis dan kondisi geografis yang ada di Indonesia. Artinya keseluruhan nilai kebudayaan ini seharusnya dapat dirangkum mampu menjadi wadah yang tidak terbatas.
“Saya merasa nyaman menyebutnya sebagai rumah dibandingkan pusat sehingga ada unsur inklusifitas dan dapat bersinergi satu sama lain,” ungkap Prof. Ir. Wiendu Nuryanti.
Rumusan UGM sebagai rumah kebudayaan akan didasari oleh Pancasila dan kemudian disokong oleh berbagai pilar pilar yaitu hak hak kebudayaan, jati diri dan karakter bangsa dan multikulturalisme, sejarah warisan budaya, industri budaya, diplomasi budaya, pranata dan SDM kebudayaan, serta sarana dan prasarana kebudayaan.
Selengkapnya disini.
Penulis: Khansa