Indonesia perlu segera memiliki regulasi data pribadi untuk melindungi masyarakat dari risiko bertransaksi dan pembahasan terkait Rancangan Undang–Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) saat ini menuju momen puncaknya. Indonesia sangat berkepentingan soal ini, sebab jika ditinjau dari prediksi valuasi Indonesia dipandang sebagai negara dengan tingkat ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.
Untuk merespons persoalan tersebut CfDS berkolaborasi dengan Facebook Indonesia mengadakan Digital Expert Talks #4 dengan tema RUU PDP dan Perekonomian Digital Indonesia. Digital Expert Talks #4 kali ini menghadirkan pembicara Muhammad Farhan (Anggota Komisi I DPR RI), Tony (Deputi Direktor Basel & Perbankan Internasional OJK), Noudhy Valdryno (Ryno) (Manager Kebijakan Publik Facebook Indonesia & Timor Leste), Thomas Aquinas D. (Peneliti Center for Indonesian Policy Studies).
Muhammad Farhan selaku anggota Komisi I DPR RI menuturkan perkembangan pengesahan RUU PDP banyak mengalami dinamika pembahasan dengan banyaknya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat tersebut mulai dari perdebatan soal persepsi data pribadi, pendekatan melindungi data pribadi, risiko data, hingga otoritas yang bertanggung jawab.
“Memasuki tahun ketujuh pembahasan masih terdapat perdebatan terkait otoritas perlindungan data pribadi yang sekarang sudah mengerucut untuk diurus oleh Kominfo dan memiliki dewan pengawas PDP di DPR dan keputusan ini juga melibatkan pendekatan multi stakeholders,” katanya, Kamis (21/10).
Terkait dinamika pengesahaan dan otoritas RUU PDP, kata Farhan, pertanggung jawaban pemangku kepentingan dari berbagai macam industri ialah wajib, terutama penguasa dan pengelola data pribadi. Kerentanan data pribadi perlu mendapat perlindungan dengan berpegang prinsip pada pelaksanaan perlindungan data pengguna atau kepentingan konsumen.
Tony selaku Deputi Direktor Basel & Perbankan Internasional OJK berpendapat RUU PDP Indonesia sangat diperlukan guna melindungi kepentingan konsumen. Ia menilai kerentanan paling tinggi sebuah data ialah data di sektor keuangan.
Oleh karena itu, katanya, OJK berusaha melindungi kepentingan konsumen dengan berbagai peraturan salah satunya peraturan terkait Kerahasiaan Data Bank. Kerahasiaan data bank ini penting mengingat salah satu pilar transformasi dalam era ekonomi digital adalah data sehingga industri di sektor ekonomi perlu memperhatikan perlindungan, transfer dan tata kelola data sebagaimana telah diatur dengan baik dalam draft RUU PDP.
Meskipun telah diatur terkait data dan penggunaan datanya di peraturan OJK, menurut Tony, kesadaran konsumen terhadap data pribadi mereka sendiri masih sangat rendah. Konsumen masih kerap kali menyebarkan atau memberikan persetujuan tanpa membaca ketentuan dan risikonya.
“Makanya seringkali terjadi mereka memberikan approve tanpa melihat perjanjian closure. Karenanya sebelum memakai aplikasi digital harus dipelajari dulu perjanjiannya karena bersifat binding,” terangnya.
Sementara itu, Noudhy Valdryno atau Ryno, Manager Kebijakan Publik Facebook Indonesia & Timor Leste, menambahkan RUU PDP di Platform Ekonomi Digital merupakan sebuah platform. Terkait RUU PDP ini, Facebook berusaha mendorong pelaku ekonomi digital di Indonesia untuk mengampanyekan pentingnya perlindungan privasi di masyarakat, melakukan edukasi kepada masyarakat soal pentingnya privasi di ranah online, serta memberi masukan terkait kasus PDP dari negara lain.
Ia menjelaskan dalam kaitannya dengan data digital & ekonomi digital maka PDP Indonesia perlu memiliki standar kepatuhan dan perlindungan yang bisa diakui oleh internasional. Menurutnya, RUU PDP perlu untuk strike a balance yaitu menyeimbangkan ruang berinovasi dan perlindungan pada masyarakat.
“Perlunya RUU PDP yang mengatur dan dipatuhi tapi tidak mengekang operasional mereka,” ucapnya.
Thomas Aquinas D, peneliti Center for Indonesian Policy Studies, menyebut RUU PDP akan sangat berdampak dan memengaruhi pelaku ekonomi digital. Menurutnya, data memiliki nilai ekonomi sehingga akan selalu ada insentif ekonomi untuk mengumpulkan dan memproses data.
Disebutnya, para pelaku usaha dan konsumen perlu mengetahui ketentuan proses dan pengumpulan data. Dengan aturan yang jelas maka para pelaku usaha akan nyaman beroperasi terlebih pada sektor yang membutuhkan pengumpulan dan pemrosesan data pribadi.
Selain itu, katanya, konsumen akan mampu secara jelas memahami jenis data yang dilindungi. Hal ini akan berdampak pada rasa aman bertransaksi yang mendorong konsumen menggunakan jasa digital.
“Keberadaan RUU PDP mampu mengakomodasi kepentingan banyak pihak dan mengayomi kepentingan konsumen sehingga data mereka tidak disalah gunakan,” paparnya.
Sebagai peneliti, ia menyarankan adanya opsi ‘memilih’ atau opt in, seperti mengakses web yang menanyakan persetujuan cookies di RUU PDP. Dengan mekanisme opt in tersebut akan mengatur secara bawaan untuk platform digital agar tidak melakukan pengumpulan data yang tidak relevan dengan bisnis mereka.
“Ini untuk melindungi orang-orang yang kurang memiliki kesadaran tentang data pribadi maka perlu mempertimbangkan RUU PDP Indonesia dengan mekanisme opt in,” imbuhnya.
Penulis: Agung Nugroho
Foto : Kementerian Keuangan