Meski mengundang kritik terkait soal keadilan, penggunaan syarat wajib tes Covid-19 dengan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk penumpang pesawat terbang dinilai sebagai bentuk antisipasi penularan Covid-19 di Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3, 2, dan 1 Covid-19 di Jawa-Bali.
Sedangkan calon penumpang moda transportasi darat, laut, dan kereta api dengan tujuan Jawa-Bali maupun non Jawa-Bali berstatus PPKM Level 3 dan 4 disyaratkan vaksinasi minimal dosis pertama plus keterangan hasil negatif PCR dengan masa berlaku 2×24 jam, atau hasil rapid test antigen yang berlaku 1×24 jam.
“Kalau alasannya ini, sepengetahuan saya ini rilis dari satgas dan PCR dianggap lebih efektif dalam mendeteksi apalagi saat ini kapasitas kan sudah diperbolehkan 100 persen. Jadi, mereka ingin skrining lebih ketat,” ujar dr. Bayu Satria Wiratama, M.P.H, Selasa (26/10).
Epidemiolog UGM tersebut mengaku sejak awal tidak setuju penggunaan antigen atau PCR untuk syarat perjalanan dengan moda transportasi apapun. Menurutnya, penggunaan antigen/PCR dinilai tidak efektif jika hanya digunakan pemeriksaan satu kali tanpa indikasi apapun misalnya indikasi kontak erat.
“Jadi, bagi saya itu langkah sia-sia dan selama ini satgas tidak pernah juga melakukan evaluasi atau studi untuk membuktikan bahwa penggunaan antigen/PCR itu efektif mencegah penularan lintas daerah,” terangnya.
Hal tersebut dinilai tidak efektif karena kebijakan semacam ini tidak ditemui di negara lain. Di negara-negara lain tidak ada yang menggunakan persyaratan semacam ini untuk perjalanan domestik di dalam negeri.
Dalam penilaiannya meskipun hasil PCR/antigen negatif tidak menjamin tidak sedang terinfeksi. Terlebih pemeriksaan hanya dilakukan sekali tanpa indikasi dinilai lemah efektifitasnya.
“Karenanya yang lebih penting adalah vaksin dan memakai masker serta sirkulasi udara yang baik,” ungkapnya.
Untuk itu, katanya, sebagai solusinya perlu mempertimbangkan kembali aturan tersebut. Jika perlu lakukan pencabutan atas aturan menggunakan PCR/antigen tersebut dan melakukan evaluasi efektif atau tidak.
Dalam pandangannya pemerintah Indonesia sering kali membuat kebijakan tanpa dilandasi alasan ilmiah yang kuat. Kalaupun kemudian ingin mengurangi jumlah penumpang sebaiknya kembali saja dengan aturan pembatasan kapasitas.
“Jadi, tidak perlu dengan PCR. Belum lagi nanti ada permainan surat antigen atau PCR palsu yang hanya akan menguntungkan finansial para pembuat suratnya. Sekali lagi paling penting di perjalanan domestik itu masker, vaksin dan sirkulasi udara yang baik serta bisa jaga jarak,” paparnya.
Ia menambahkan meski dengan PCR tidak menjamin tidak ada penularan. Untuk itu, yang terpenting vaksin, disiplin dalam pemakaian masker dan jaga jarak yang ketat.
Apalagi untuk perjalanan jarak jauh disiplin pemakaian masker sangat diharuskan. Kapasitas penumpang 50 – 75 persen dengan diatur jarak antar penumpang, dan menyediakan ruangan khusus untuk makan yang terpisah dari tempat duduk (khusus moda kereta api).
“Dengan cara-cara seperti itu saya kira sudah cukup membantu. Hal itu perlu saya sampaikan sebab penelitian di Indonesia sampai saat ini masih kurang membahas mengenai sebenarnya seberapa besar risiko tertular di transportasi publik. Karena kembali lagi pemegang datanya tidak mau melakukan evaluasi soal itu,” terangnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Gempi/ tempo.co