YOGYAKARTA-Mudik sebuah tradisi masyarakat Indonesia, khususnya bagi masyarakat Jawa yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan, misalnya menjelang lebaran atau Idul Fitri. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, mudik boleh dikatakan sebuah tradisi yang mutlak harus dilaksanakan.
Mudik adalah kegiatan perantau/ pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Pada mudik itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua. Tradisi mudik hanya ada di Indonesia
Ketika mudik mereka bisa berkumpul bersama keluarga. Bukan saja keluarga kecil (dekat) saja namun keluarga dalam lingkup yang jauh lebih luas. Secara sosiologis hal ini berbeda ketika libur pada hari-hari biasa di luar Idul Fitri. Kedekatan, emosional dan semangat untuk mudik lebaran lebih besar dibandingkan libur biasa.
“ Semangat mudik lebaran berbeda dengan libur di hari biasa. Baik dari sisi semangat, dan emosionalnya lebih besar. Lihat saja mereka mau berdesak-desakan atau antri beli tiket hingga macet di perjalanan,†kata sosiolog UGM Drs. Soeprapto, S.U., Senin (6/9).
Soeprapto memberikan gambaran sisi positip dari mudik lebaran sebagai sarana memperkuat tali silaturahmi dan media komunikasi. Disamping itu jika bisa memanfaatkan momentum mudik dengan baik bisa untuk mengurangi jumlah pengangguran di desa/kampung.
“ Ketika mudik tentu ada komunikasi. Jika bisa sharing dengan pemudik yang telah bekerja atau sukses tentu nanti bisa menularkan kepada yang belum mendapatkan pekerjaan,†ujarnya.
Lebih jauh dikatakan Soeprapto, fenomena mudik dari tahun ke tahun memang tidak banyak berubah. Hanya saja selain dimanfaatkan sebagai sarana silaturahmi seringkali tidak bisa dihindari munculnya penciptaan symbol status untuk meningkatkan status/strata.
“ Tidak bisa dipungkiri misalnya untuk mudik biar dilihat lebih sukses di perantauan kemudian harus menyewa (rental) mobil. Padahal sebenarnya hal itu sedikit dipaksakan dengan kondisi ekonomi yang dimiliki,†tambah pria kelahiran Indramayu, 21 Mei 1956 tersebut.
Penciptaan symbol status untuk meningkatkan strata sosial di mata keluarga atau masyarakat di kampung halaman inilah yang kadang bisa ‘merusak’ makna atau hakikat mudik. Penciptaan symbol status saat ini beragam bukan saja berbentuk kendaraan seperti motor atau mobil.
“ Bisa berupa perhiasan atau yang sekarang trend khan seperti HP atau alat-alat elektronik lainnya,†imbuh Soeprapto.
Apapun fenomena yang muncul setiap kali mudik datang sebaiknya memang bukan semata-mata diartikan sebagai mudik biologis saja seperti mengobati rasa kangen dan rindu pada sanak keluarga. Padahal esensi Idul Fitri yang sesungguhnya adalah untuk menjadikannya sebagai momentum “mudik spiritualâ€, yakni kembali ke kampung halaman rohani yang fitri dan suci. Ini tentunya sejalan dengan makna Idul Fitri yang hakiki.
‘Id berasal dari bahasa Arab dari akar kata ‘aada, yang berarti kembali. Sedangkan fitri bermakna “fitrah atau asal kejadian yang masih suci dan murniâ€. Karenanya Idul Fitri itu artinya “kembali (mudik) ke asal kejadian (ruhaniah yang masih fitri dan suci)â€. Pasalnya, manusia itu memang terlahir dengan fitrah yang suci. Inilah makna mudik yang sejati, yakni mudik spiritual bukan mudik biologis.
Terkait mudik ini sebelumnya Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memprediksi adanya peningkatan jumlah pemudik yang menggunakan sepeda motor pada arus mudik Lebaran 2010. Diperkirakan ada 3,6 juta motor yang digunakan untuk mudik. Ini mengalami kenaikan sebesar 14,9 persen dari tahun sebelumnya. Sementara untuk jumlah pemudik yang menggunakan mobil pribadi, diperkirakan juga akan mengalami kenaikan sebesar 4,6 persen dari tahun sebelumnya atau sebanyak 1, 373 juta unit (Humas UGM/Satria)