Pandemi Covid-19 telah membuka mata banyak pihak bahwa Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki sistem kesehatannya. Salah satu upaya perbaikan sistem kesehatan yang dilakukan adalah membangun sinergi, sinergi antara para akademisi, peneliti kesehatan dengan para pengambil kebijakan.
Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) sejak awal didirikan untuk memfasilitasi sinergi-sinergi tersebut. Setiap tahun dalam forum nasional JKKI selalu mempertemukan para peneliti dengan para pengambil kebijakan untuk berdialog.
Secara khusus pada forum JKKI XI tahun 2021 menghadirkan sesi policy dialog sebagai pembuka. Pada sesi dialog ini menghadirkan Menteri Kesehatan RI, Ir. Budi Gunadi Sadikin, sebagai pengambil kebijakan puncak pada sistem kesehatan Indonesia.
Terlepas dari perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan, pandemi betul-betul menimbulkan disrupsi dalam sistem kesehatan di Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan sistem kesehatan di Indonesia perlu semacam transformasi agar lebih resilience terhadap guncangan-guncangan yang terjadi kedepannya.
“Sewaktu saya dipanggil Presiden untuk menjadi menteri ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu melakukan vaksinasi dengan sukses, mengatasi pandemi ini, dan melakukan transformasi di bidang kesehatan,” ujarnya, Senin (11/10) saat melakukan policy dialog sebagai pembuka Forum Nasional ke-11 Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia.
Menyitir pesan Presiden, kata Budi, Indonesia pernah menghadapi tiga krisis besar 1998, 2008 dan 2019-2020-2021. Krisis-krisis tersebut menjadi momentum sekaligus peluang menciptakan transformasi yang sifatnya fundamental.
Meski berbeda dengan krisis di tahun 1998 dan 2008 yang diawali dari sektor perbankan, krisis di tahun ini diawali di sektor kesehatan. Krisis ini dinilai memberi kesempatan yang besar untuk melakukan transformasi di sektor kesehatan, sama halnya saat krisis di sektor perbankan atau sektor keuangan di tahun 1998.
“Saat itu banyak bank tutup, tapi banyak juga bank-bank besar yang lahir. Selain bank jatuh karena liquiditasnya, timbul juga bank-bank baru yang modalnya sangat kuat, bahkan karena regulasi dan kontrolnya lemah, dan Bank Indonesia di spin off dari pemerintah dan menjadikannya independen dan membangun sistem monitoring perbankan secara lebih baik. Ini adalah contoh di setiap ada krisis, Indonesia melihat sebagai peluang untuk melakukan transformasi,” paparnya.
Adapun transformasi di bidang kesehatan yang akan dilakukan dibagi menjadi 6, yaitu transformasi di bidang kesehatan primer, bidang kesehatan sekunder, bidang ketahanan kesehatan, bidang sistem pembiayaan kesehatan, bidang SDM kesehatan dan transformasi di bidang teknologi. Kementerian Kesehatan akan fokus utama pada bidang kesehatan primer, sementara pada transformasi teknologi sistem kesehatan akan dibagi dua yaitu transformasi teknologi sistem kesehatan dan transformasi dari bioteknologi kesehatan.
“Titik programnya sudah ada dan nanti akan didiskusikan dengan teman-teman di perguruan tinggi dan asosiasi, program-program apa saja yang dilihat untuk bisa kita sempurnakan guna mempersiapkan generasi mendatang jika menghadapi situasi pandemi seperti ini,” katanya.
Budi Gunadi Sadikin mengakui terkait farmasi dan sistem ketahanan kesehatan Indonesi masih lemah. Hal ini terlihat bagaimana di saat pandemi, obatan-obatan dan alat kesehatan tidak berjalan dengan sempurna. Betapa Indonesia masih mengalami kesulitan mendapat masker, betapa susahnya antar negara berebut ventilator, sulitnya mendapatkan avugan, faviprapir, vaksin, oksigen dan lain-lain.
Hal tersebut, menurutnya, menunjukkan Indonesia tidak resilience. Terhadap obat-obatan dan kebutuhan alat medis masih sangat bergantung pada negara lain.
“Resilience kita rendah, kita harus impor anti virus osentamivier, disuruh bikin tidak ada karena bahan bakunya masih impor dari China dan China waktu itu masih lock down sehingga tidak bisa ekspor. Lantas kita cari lagi dimana, ada tapi di Mumbai India, ini sungguh memperlihatkan resilience kita lemah pada saat krisis datang,” ucapnya.
Karenanya itu, menurutnya, banyak hal harus dibangun pada sistem kesehatan Indonesia. Sistem kesehatan yang dibangun mestinya tidak hanya lokal, namun juga global.
Pada level lokal, katanya, saat pandemi Indonesia pernah kekurangan tenaga kesehatan, vaksinator dan tenaga lab untuk PCR. Jika di tentara mengenal istilah tentara cadangan atau reserve army, maka di sistem kesehatan Indonesia bisa juga dibangun health professional reserve.
“Sudah saatnya kita berpikir out of the box. Ya kita bisa bentuk semacam itu misalnya health professional reserve, sehingga ketika suatu saat harus berperang melawan virus atau bakteri di masa pandemi, kita harus siap. Mereka bisa ditaruh di kepramukaan atau dimana saja, yang penting suatu waktu bisa dimobilisasi dan siap. Misal butuh vaksinator, butuh tenaga lab pcr atau genose dalam seminggu 10 ribu harus bisa dst. Butuh tracing dan tracer dalam seminggu, siap langsung bisa. Karenanya resilience itu perlu dibangun,” ungkapnya.
Forum Nasional JKKI ke-11 mengangkat topik “Resilience Kesehatan pada Era Pandemi Melalui Pemanfaatan DaSK, Data Rutin Kesehatan, dan Reformasi Sistem Kesehatan”. Kegiatan yang dilaksanakan secara daring melalui kanal Zoom dan YouTube ini akan berlangsung selama 2 minggu, tanggal 11 – 26 Oktober 2021.
Topik-topik yang akan dibahas antara lain mengenai Transformasi Sistem Kesehatan Kebijakan KIA, Kebijakan Gizi dan Stunting, Kebijakan Kanker, Kebijakan Jantung, Kebijakan JKN, Kebijakan Obat, Kebijakan Health Security, dan Kebijakan Health System Resilience. Beberapa narasumber terlibat dalam kegiatan ini, antara lain Jana Hertz selaku Team Leader Knowledge Sector Initiative, Dr. Mego Pinandito, M.Eng selaku Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi, BRIN, Pungkas Bahjuri Ali, S.TP, MS, Ph.D selaku Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas, dr. Lutfan Lazuardi, PhD selaku Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Universitas Gadjah Mada, Karen Grepin selaku Associate Professor at the School of Public Health at the University of Hong Kong dan Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia.
Penulis : Agung Nugroho