Anjloknya harga cabe akhir-akhir ini membuat petani merugi. Tingginya produksi di bulan Agustus ini tidak diikuti serapan yang optimal di pasaran. Bahkan, harga cabe merah keriting di tingkat petani di Kulon Progo, DIY berkisar harga 2.500 rupiah – 3.000 rupiah per kilo.
Dr. Ir. Taryono, M.Sc, dosen Fakultas Pertanian UGM, mengatakan petani konvensional sudah biasa mengalami kerugian. Apalagi di masa pandemi saat ini saat permintaan mengalami penurunan sangat drastis.
“Biasanya cabe dari Jogja atau di Jawa ini kan juga untuk mengisi kebutuhan pasokan di luar Jawa. Kalau di kota-kota di Jawa bisa dilakukan dengan truk, sementara karena bahan mudah rusak pengiriman keluar Jawa pasti menggunakan pesawat, inilah yang kemudian di daerah-daerah produsen juga mengalami gangguan,” katanya, di Faperta UGM, Selasa (31/8).
Anjoknya harga cabe ini, kata Taryono, dimungkinkan karena kelebihan produksi, sementara permintaan dan sistem transportasi yang tidak lancar. Sedangkan sektor pariwisata yang selama ini mendukung serapan produksi dari petani kondisinya juga lagi lesu, padahal sektor ini sebagai sumber permintaan tinggi untuk cabe.
“Praktis kalau pariwisata tidak jalan, begitu pula dengan hotel-hotel. Kalau petani berproduksi tapi sektor lain belum jalan kan sama saja,” ucapnya.
Ia mengungkapkan sebenarnya yang terjadi saat ini adalah hal klasik pada komoditas holtikultura yang dilakukan para petani konvensional. Tanpa pengawasan, mereka melakukan penanaman hanya mengikuti petani sekitarnya.
Didukung iklim tahun ini yang dinilai sebagai iklim yang baik. Dengan kondisi iklim kemarau basah tentu sangat cocok untuk tanaman cabe, tomat dan lain-lain.
“Kebetulan tahun baik tho ini, iklimnya kemarau basah makanya untuk semacam cabe tomat baik sekali, sehingga ada kemungkinannya over suply,” jelasnya.
Meski mengalami harga yang tidak ideal, Taryono sebenarnya berharap para petani tidak perlu reaktif dan atraktif menyikapi situasi pasar. Menurutnya, tetap ada solusi untuk mengatasi harga cabe yang anjlok cukup tajam saat ini.
Berbeda dengan tomat, para petani sebenarnya bisa melakukan pengeringan cabe sehingga cabe rawit, cabe keriting bisa dikeringkan setelah itu dijual karena kebutuhan cabe kering oleh industri sangat tinggi bahkan sempat impor.
Sayangnya, para petani terlanjur terbiasa jual produk segar sehingga untuk cabe kering ini kadang kurang memenuhi standar nasional indonesia (SNI). Memang idealnya ada industri yang mau menampung produk cabe segar dan semi kering dari petani.
“Jadi, seperti kakao, berapapun persen kandungan air yang ada tetap diterima oleh pengepul nanti langsung dikeringkan, kemudian diproses lalu bisa disimpan. Bahkan, inipun bisa untuk ekspor juga,” paparnya.
Selain itu, katanya, perlu memfungsikan secara optimal lembaga-lembaga penyangga yang bisa membantu petani pasca panen. Seperti yang dilakukan Direktorat Jenderal Holtikultura dengan bertindak sebagai lembaga penyangga yang kemudian menjual produk cabe ke lain daerah yang membutuhkan. Sayangnya, petani lagi-lagi tidak memiliki informasi soal ini, daerah-daerah mana yang memerlukan dan daerah-daerah mana yang memproduksi.
“Mestinya mereka juga tidak usah terlalu reaktif. Meski kecewa dan menilai pemerintah tidak bisa menjaga, padahal kan kalau pas harga lagi baik mereka sebenarnya diam-diam saja,” terangnya.
Taryono berharap pemerintah mau melakukan pengawasan dan pendampingan lebih intensif untuk petani. Karena penjadwalan waktu tanam dan sebagainya saat ini dinilai pengawasan dari pemerintah kalah dengan para penjual benih. Para pemasok benih dinilai lebih intensif melakukan pendampingan sehingga kemudian tidak ada pengaturan.
Petani itu idealnya memang harus ada yang mendampingi, baik dalam teknologi budi daya, pasca panen hingga pemasaran. Diakui memang ada petugas dari pemerintah tapi jumlahnya tidak banyak dan yang paling banyak mendampingi justru dari perusahaan benih.
“Target-target perusahaan benih itu kan sampai produksi, soal harga mereka kan tidak tahu, yang penting bagi mereka tanamannya bagus, menghasilkan dan setelah itu harganya berapa mereka tidak mau tahu. Karena bukan tugas mereka, mereka hanya tawarkan benih yang bermutu tinggi. Namanya juga orang jualan kan mesti promosi, selama pengawasan tidak ketat padahal cabe itu kan masuk ditarget pemerintah untuk swasembada. Kalau kemudian swasembada tapi petani tidak sejahtera ya mau ngopo,”pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : InfoPublik