Berawal dari permasalahan banyaknya pelajar SMA/SMK yang ditangkap saat ikut aksi demonstrasi menolak omnibus law beberapa waktu lalu di Semarang. Beberapa pelajar yang ditangkap tersebut menyatakan bahwa mereka tidak paham mengenai demo omnibus law tersebut. Mereka mengikuti aksi tersebut hanya ikut-ikutan teman dan dari hasil broadcast message yang beredar. Berangkat dari persoalan itu, tiga orang mahasiswa UGM membuka kelas cakap politik di sekolah.
Tim mahasiswa yang terdiri dari Elivia Yestiana dan Hanif Jati Pambudi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) serta Puspa Sukmawati Putri dari Fakultas Hukum (FH) dengan dosen pendamping Muhammad Djindan, S.I.P., M.Sc., membuka kelas cakap politik dalam rangka memberikan pemahaman pada pelajar soal.
“Platform edukasi politik tersebut diberi nama Kelas Cakap Politik,” kata Hanif dalam rilis yang dikirim ke wartawan, Kamis (26/8).
Platform edukasi Kelas Cakap Politik ini, kata Hanif, berisi sesi materi dan sesi aksi politik. Sesi materi terdiri atas 4 kelas dan 2 aksi politik. Beberapa materi yang disampaikan yakni Mengapa anak muda harus paham politik, Politik Anak Muda, Politik 5.0, dan How to reach a millennial student as a smart politician. “Adapun aksi politik berisi kegiatan menyuarakan isu terkini dengan cara yang kreatif dan inovatif,”katanya.
Pelaksanaan program pemberdayaan ini pun sangat memuaskan. Terbukti kegiatan ini diikuti oleh 50 siswa dan 5 guru dari SMAN 2 Semarang. Selain itu, siswa dan guru berhasil membuat 7 aksi politik berupa karya kreatif di Instagram sebagai aksi kampanye yang mengangkat berbagai isu politik, seperti kebijakan vaksin, kebijakan kesetaraan gender, hingga isu tentang kebebasan berpendapat.
Selain itu, program Kelas Cakap Politik berhasil menjadikan siswa dan guru SMAN 2 Semarang paham dan cakap terhadap isu-isu politik. Kegiatan ini tetap akan akan berlangsung dengan adanya Kader Cakap Politik. “Kader Cakap Politik ini berisi siswa dan dibimbing oleh guru dan terintegrasi dengan ekstrakurikuler sehingga ke depan Kelas Cakap Politik akan tetap eksis meskipun sudah tidak diisi oleh mahasiswa UGM,”ujarnya.
Guru SMA Negeri 2 Semarang, Liliek Handoko, S.Pd., (30 tahun), mengatakan pelajar yang ikut aksi menolak RUU Cipta Kerja karena mendapat pesan berantai dari media sosial dan Whatsapp Group. Namun begitu, imbuhnya, mayoritas para pelajar yang ikut aksi tersebut tidak mengetahui tujuan dari demo yang diikuti.
Adanya program kelas cakap politik ini menurutnya sangat efektif dalam menjelaskan materi soal politik praktis. Sebab, buku-buku pelajaran atau modul pembelajaran yang selama ini di sekolah belum banyak menjelaskan bagaimana berpolitik secara praktis. “Belum ada materi yang membahas bagaimana menanggapi isu politik praktis,”katanya.
Elivia Yestiana, anggota tim mahasiswa penggagas kelas cakap politik, mengatakan kegiatan kelas melek politik semacam ini diharapkan memberikan pemahaman dan pengetahuan baru bagi pelajar soal politik sehingga kedepan tidak ada lagi pelajar yang mengikuti aksi hanya berdasarkan ikut-ikutan tanpa memiliki pengetahuan cukup mengenai apa yang mereka lakukan. “Kita ingin berusaha memberdayakan pelajar SMA dengan cara mengedukasi mereka dengan membuat program Kelas Cakap Politik ini,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson