Fakultas Ilmu Budaya UGM menyelenggarakan Seminar Nasional Kajian Antropologi Putaran II Seri Pertama dengan narasumber Dr. Muhammad Arifin, M.Hum. (Lulusan Doktor UGM/ Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman) dan Dr. Suzie Handajani, M.A. (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada) pada Senin, (16/8).
Dalam seminar ini, Arifin memamaparkan gagasan disertasinya yang berjudul “Kontruksi dan Kontestasi Identitas Islam di Kampung Kauman Yogyakarta”. Kampung Kauman merupakan kampung tertua yang lahir beberapa saat setelah dibangunnya Masjid Agung pada tahun 1773 M sebagai pelengkap dari berdirinya kerajaan Mataram Islam pada tahun 1755. Menurut Arifin, kehadiran Kauman sebagai kampung Islam waktu itu merupakan bagian dari barometer perkembangan Islam di Jawa dan khususnya di Yogyakarta.
Arifin juga menyampaikan bahwa lahirnya Muhammadiyah pada tahun 1912 menjadikan Kampung Kauman bertansformasi menjadi basis perkembangan Islam Muhammadiyah, yaitu sebagai salah satu organisasi keagamaan atau organisasi pembaharuan Islam terbesar di Indonesia. Lalu, Kampung Kauman mengalami perubahan cukup mendasar ketika Muhammadiyah lahir sebagai Gerakan Islam. Hingga sekarang, Kauman Identik dengan Kampung Islam dan identik dengan Kampung Muhammadiyah. Masyarakatnya cenderung mempertahankan identitas (keislaman) mereka, dan tradisi keagamaan mereka sangat bertentangan dengan keraton dan budaya Jawa secara umum.
“Setelah lahir Muhammadiyah, ada hal-hal yang menarik dari orang Kauman. Mereka mengatakan bahwa Kauman ya Muhammadiyah, Muhammadiyah ya Kauman. Ia adalah Islam Reformasi yang anti TBC. Lalu, identitas yang dibangun adalah kampung islam, kampung Muhammadiyah, dikontruksikan baru sebagai sebuah kampung pariwisata, dan kampung Darussalam (kampung yang damai).
Selanjutnya, identitas Islam yang ditampilkan di Kampung Kauman menurut Arifin adalah gerakan salat berjamaah, solidaritas umat Islam (zakat & sedekah), melanjutkan tradisi pengajian malam selasa (PMS), pengajian secara bergilir, tadarus, pakaian muslim (baju koko, sarung dan hijab, serta berpuasa dan sholat tarawih).
“Ini yang ingin ditunjukkan orang Kauman. Kami adalah Islam. Jelasnya, komitmen keagaaman Islam itu selalu dipelihara secara konsisten,” ujarnya.
Sebagai pembahas, Suzie memaparkan bahwa Kauman sebagai A Living Breathing Museum karena di dalamnya ada diorama raksasa yang bisa kita lihat dan ada sesuatu yang hidup yang berprogres dan berkembang.
Menurut Suzie, Kauman bisa menyajikan dua hal, yaitu secara spasial dan temporal. Secara spasial bisa kita lihat sebagai versi mini dari Indonesia, dan secara temporal Kauman menyajikan nostalgia, romantika masalalu dan bisa memprediksi Kauman dan Indonesia di masa yang akan datang.
“Jadi kalau kita lihat, mengamati nilai-nilai toleransi atau nilai-nilai intoleransi, bisa kita lihat disini Kauman sebagai versi kecil dari dinamika sosial yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Tiga poin yang disampaikan Suzie dalam membahas Kampung Kauman, yaitu placemaking, power relation, dan capitals. Menurutnya, Kauman adalah suatu tempat yang sedang terjadi proses placemaking. Placemaking adalah suatu proses dimana kita ingin menjadikan suatu area, suatu teritori, suatu lahan untuk dijadikan lahan bagi suatu kelompok atau komunitas. Dan dalam proses placemaking ini, ada relasi kuasa (power relation) yang terjadi terus-menerus dan sumber dari kuasa tersebut adalah modal (capitals) yang dimiliki.
Penulis: Desy