Rentetan gempa terjadi di sejumlah daerah di Indonesia pasca kejadian gempa di Cianjur, Jawa Barat. Gempa bumi terjadi pada Sabtu (3/12) pukul 16.49 WIB dengan magnitudo 6,4 berpusat di Kabupaten Garut dengan pusat gempa berada di kedalaman 118 Km, 52 Km barat daya Garut. Gempa Bangkalan terjadi pada Minggu (4/12) malam pukul 22.02 WIB lokasi gempa itu berada pada koordinat 6.42 lintang selatan dan 112.60 bujur timur berada di jarak 77 kilometer barat laut Bangkalan.
Kemudian Minggu (4/12) Kabupaten Gunung Kidul juga diguncang 4 kali gempa pada malam hari. Disusul gempa di hari Selasa (6/12) di Kabupaten Jember, Jawa Timur, dengan magnitudo 6,2 dan gempa-gempa lainnya. Lantas apa kata pakar soal gempa beruntun akhir-akhir ini?
Pakar gempa dan Dosen Teknik Geologi UGM, Dr. Gayatri Indah Marliyani, ST., M. Sc., berpendapat gempa di Cianjur pada 21 November 2022 tidak memicu gempa yang terjadi di wilayah lain di Indonesia, semisal gempa Probolinggo pada Sabtu (3/12) dengan magnitudo 4.1, Gempa Garut Sabtu (3/12) dengan magnitudo 6.1, dan gempa Selatan Jatim pada Selasa (6/12) dengan magnitudo 6.
Menurutnya, kejadian gempa yang terkait dengan kejadian gempa di Cianjur hanya rentetan gempa susulan yang terkonsentrasi di sekitar daerah episenter dengan frekuensi dan magnitudo yang semakin mengecil. Kejadian gempa di Probolinggo, menurutnya, terkait dengan aktivitas sesar aktif Probolinggo yang berada di darat, sementara gempa Garut berkaitan dengan proses subduksi.
“Gempa Garut tersebut terjadi pada zona intraplate lempeng IndoAustralia yang menyusup di bawah pulau Jawa. Sementara itu, gempa di Jatim berada pada zona prisma akresi di zona subduksi Jawa bagian timur,” tuturnya di Kampus UGM, Rabu (7/12).
Melihat dari jenis kegempaan dan lokasi sumber gempanya, dia menjelaskan gempa-gempa tersebut tidak berkaitan satu sama lain. Wilayah di sepanjang zona subduksi seperti sepanjang lepas pantai barat Sumatra sampai Lombok memang berada pada daerah tektonik aktif sehingga banyaknya kejadian gempa bumi di sekitar wilayah ini sebagai sesuatu yang wajar.
“Gempa yang terjadi adalah fenomena alam yang terjadi akibat pelepasan energi ketika tubuh batuan kerak bumi retak, patah, dan bergerak akibat tekanan yang berasal dari pergerakan lempeng-lempeng tektonik di bumi,” katanya.
Ia melihat di wilayah Indonesia terdapat banyak lempeng-lempeng tektonik yang saling bertabrakan, antara lain lempeng Indo-Australia, Eurasia, Pasifik, Filipina dan beberapa lempeng lainnya. Lempeng-lempeng ini bergerak dengan kecepatan sekitar 4-7 cm per tahun sehingga pada batas-batas tumbukan lempeng ini, energi dari pergerakan tersebut terakumulasi, menyebabkan terjadinya retakan dan pergerakan patahan yang disertai dengan peristiwa gempa bumi.
Rentetan gempa yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia ini merupakan fenomena alam. Jika diamati maka gempa di wilayah Indonesia setiap hari pasti terjadi, terutama gempa-gempa bermagnitudo kecil (M2-3). Sedangkan untuk gempa menengah (M4-5) frekuensi kejadian harian juga cukup besar, sedangkan gempa besar (>M5) hampir setiap tahun terjadi di wilayah Indonesia.
“Hanya tidak selalu menimbulkan kerusakan sehingga tidak selalu menjadi perhatian. Adanya peristiwa yang dianggap rentetan oleh masyarakat sebenarnya lebih terkait kepada perhatian masyarakat yang meningkat terhadap kejadian gempa sesudah terjadinya gempa merusak di Cianjur belum lama ini,” terangnya.
Oleh karena itu, ia berpesan masyarakat tidak perlu merasa waswas yang berlebihan. Fenomena kejadian gempa yang seolah-olah meningkat akhir-akhir ini, menurutnya lebih dikarenakan kecepatan pertukaran informasi dan perhatian masyarakat yang meningkat pasca terpicu kejadian gempa merusak yang menimbulkan korban jiwa belum lama ini di Cianjur.
Meski begitu, ia mengingatkan pentingnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk selalu menyadari bila sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah rawan gempa bumi. Masyarakat diharapkan tetap meningkatkan kewaspadaan sehingga semuanya akan lebih siap untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi.
“Tidak perlu kemudian panik dan was-was berlebihan terhadap fenomena alam ini. Meningkatkan kesadaran akan lingkungan sekitar dapat membantu kita untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana yang mungkin terjadi. Literasi terhadap kondisi geologi di sekitar area tempat tinggal dan beraktivitas juga perlu ditingkatkan dengan mencoba memahami betul prosedur dan jalur evakuasi di manapun berada,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Pikiran Rakyat