Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berpenghasilan menengah di Asia Tenggara selama beberapa dekade terakhir menuai pujian karena berhasil mengurangi angka kemiskinan, baik secara absolut maupun relatif. Meski angka kemiskinan di Indonesia telah menurun, namun ketidakamanan pangan masih tinggi serupa dari daerah pedesaan yang berada di sekitar perkebunan sawit.
Masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan sawit belum mendapat dampak signifikan dari sisi ekonomi, namun sebaliknya mereka masih berada dalam kondisi miskin dan mengalami keterbatasan akses pada pangan dan sumber daya bahkan mengalami kesulitan dalam kesempatan mendapatkan pekerjaan karena ketiadaan lahan pertanian. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya membuat kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan sawit untuk keluar dari kungkungan kemiskinan bukan semata-mata sekedar memberikan konsesi lahan pada perusahaan sawit.
Hal itu mengemuka dalam Konferensi Internasional yang bertajuk The Paradox of Agrarian Change: Food Security and the politic of social Protection in Indonesia, Rabu (18/1), di Gedung Masri Singarimbun, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM.
Antropolog dari Universitas Indonesia, Suraya Afif, Ph.D., mengatakan program reformasi agraria yang dicanangkan pemerintah belum berdampak pada upaya pengentasan kemiskinan terutama mereka yang tinggal di sekitar lahan perkebunan sawit yang notabene perusahaan tersebut memiliki konsesi lahan hingga ratusan ribu hektare sementara penduduk sekitar tetap hidup miskin dan tidak lepas dari persoalan stunting. “Pemerintah perlu mengatasi atas keterlanjuran ini. Isu agraria harus menjadikan persoalan kemiskinan dan stunting menjadi tujuan utama untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakat di pedesaan. Di daerah sekitar perkebunan sawit kelompok perempuan paling terkena dampak,” kata Afif.
Dari hasil penelitiannya, Afif menyebutkan banyak pemuda dan perempuan keluar dari desa untuk mencari penghasilan baru ke perkotaan karena tidak memiliki mata pencaharian. “Sebenarnya obsesi mereka punya lahan untuk mata pencaharian, namun lahan dikuasai perusahaan perkebunan,” jelasnya.
Tidak hanya kesulitan untuk mendapatkan akses sumber penghasilan, penduduk desa di sekitar perkebunan sawit juga memiliki kendala akses pada sumber pangan. “Tidak hanya hidup miskin, para anggota keluarga juga mengalami persoalan stunting,” paparnya.
Sementara Sosiolog dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Henri Sitorus, menuturkan pembukaan akses pangan dan sumber daya lahan sangat diperlukan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan sawit. “Studi kasus yang kita temukan sangat beragam terkait keamanan pangan dan perikanan. Belum lagi ketimpangan dan kesempatan kerja di perusahaan perkebunan meski hanya sebagai buruh lepas,” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson