Pemerintah menambah anggaran perlindungan sosial untuk meringankan beban masyarakat yang terdampak kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pemerintah akan menambah alokasi untuk bantuan sosial tersebut sebesar Rp55,21 triliun.
Alokasi anggaran tersebut akan digunakan untuk beberapa program sosial pemerintah. Antara lain bantuan tunai, bantuan sembako, bantuan kuota internet dan subsidi listrik. Selain itu, pemerintah juga akan memberikan insentif untuk usaha mikro informal, dan anggaran yang disiapkan sebesar 1,2 juta rupiah untuk 1 juta usaha mikro.
Sayang, akibat data yang tidak akurat bantuan sosial menimbulkan banyak masalah. Hingga menyebabkan distribusi bansos berjalan lambat dan tidak tepat sasaran, hal ini juga lantaran adanya ketidaksinkronan data penerima bansos antara pemerintah pusat dan daerah.
Dr. Hempri Suyatna, Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial (SODEC), Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Sosial, Fisipol UGM, berpendapat apa yang dilakukan pemerintah merupakan sebagai upaya jaring pengaman sosial di era pandemi. Hanya saja, persoalan yang kemudian muncul memang lebih terkait soal validasi data yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) belum update.
Muncul pula masalah adanya konflik regulasi dan lemahnya sinkronisasi antara pemangku kepentingan (Kemenko, Kemendes, Kemensos, Kemendagri, Kementerian Keuangan, Pemerintah Propinsi/ kabupaten) dan sebagainya. Juga soal adanya pemburu rente dalam penyaluran bansos atau politisasi bantuan sosial yang semua diakibatkan banyaknya pintu untuk pendataan.
“Problem di DTKS ini macam-macam, ada yang belum terisi NIK. Jika pun terisi tidak semua NIK valid atau ada NIK ganda. Mereka yang meninggal dan pindah masih juga tercantum, dan terkadang ditemukan kasus tidak padan, data Dukcapil Kabupaten/ Kota dengan Dukcapil Kemendagri,” ujarnya di Kampus UGM, Kamis (22/7).
Belum lagi model distribusi bansos yang berbeda-beda. Menurut Hempri, persoalan ini menimbulkan kecemburuan antar penerima program utamanya pada program-program bansos konvensional, semisal PKH, bantuan pangan non-tunai. Juga munculnya perilaku mendadak miskin di masyarakat, dan program bantuan sosial yang tumpang tindih.
Oleh karena itu, Hempri berharap dilakukan penyamaan persepsi mengenai indikator keberhasilan program, yaitu keterserapan anggaran yang dihadapkan dengan ketepatan program. Selain itu, perlu untuk mendefinisikan situasi darurat atau level secara hukum, politik dan medis.
“Sangat diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi regulasi yang mengarah pada integrasi program-program bansos dan perbaikan manajemen data yaitu optimalisasi satu data nasional karena pendataan dengan banyak pintu menimbulkan konflik kepentingan,” terangnya.
Untuk bansos di situasi saat ini, kata Hempri, sangat urgen. Menurutnya, perlu dipikirkan pula bantuan-bantuan khusus warga tidak mampu yang saat ini melakukan isolasi mandiri karena mereka ini kira-kira bisa masuk kriteria mana atau mungkin dicover APBD.
“Intinya saya kira fokus ke bagaimana program tepat sasaran dan jangan tumpang tindih, karenanya mendesak soal verifikasi dan validasi data ini, sejauh mana kesiapan manajemen data selama ini sudah diperbaiki,” ucapnya.
Diakuinya, kasus kematian mereka yang melakukan isoman saat ini cukup tinggi. Meski ada bansos, untuk mereka yang isoman ini ternyata belum ada skema tersendiri soal bantuan.
“Yang tersentuh kan mereka penduduk miskin dan terdapat di DTKS. Karenanya kita berharap Kemensos sebagai leading sector untuk soal ini. Pemerintah Daerah juga harus bisa mendorong inovasi dan kearifan lokal di tingkat desa/kelurahan untuk membantu yang isoman ini, dan saya kira beberapa kampung sudah ada yang mempraktikkan ini,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : BeritaSatu.com