Pemerintah berusaha untuk terus memberikan dukungan infrastruktur seperti pemerataan jaringan internet dan membuka program kolaborasi serta pendanaan yang dapat dimanfaatkan perusahaan pengembang kesehatan (healthtech) untuk meningkatkan efisiensi dan menjawab tantangan-tantangan di dunia kesehatan demi kemaslahatan masyarakat. Dr. drh. Didik Budijanto, M.Kes selaku Direktur P2PTVZ Kementerian Kesehatan RI mendorong di era pandemi ini untuk melakukan adopsi dan penerapan berbagai inovasi digital untuk mendukung akses, sustainabilitas maupun respons kesehatan masyarakat terhadap pademi.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah merelaksasi regulasi layanan telemedicine langsung kepada konsumen, meskipun masih terbatas pada terbitnya surat edaran. Pemerintah memang sudah mengeluarkan beberapa peraturan, seperti Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Permenkes Nomor 46 Tahun 2017 tentang Strategi e-Kesehatan Nasional sebagai pijakan dasar dan Permenkes Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Kesehatan.
Sayang, peraturan tersebut belum sepenuhnya mengatur naungan hukum, pengawasan serta dukungan penjaminan mutu dari regulator terhadap pengembang inovasi kesehatan. Di sisi lain, pengguna layanan kesehatan digital juga berhak mendapatkan jaminan mutu, keamanan serta perlindungan data pribadi atas layanan kesehatan digital.
Tercatat lebih dari 170 startup yang bergerak di bidang healthtech tergabung dalam Asosiasi HealthTech Indonesia. Sebagian besar pengembang ini telah bekerja sama dengan pemerintah yang tercatat secara resmi di Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik tetapi hingga saat ini belum ada satupun para pengembang teknologi digital tersebut memperoleh naungan hukum dari Kementerian Kesehatan.
Meskipun beberapa perusahaan digital tersebut telah menandatangani Nota Kesepahaman Bersama dengan Kemenkes, namun mekanisme pengawasan dan penjaminan mutu aplikasi kesehatan oleh Kementerian Kesehatan belum terlaksana sebagaimana mestinya. Sebagai upaya untuk berkontribusi dalam penyelesaian masalah tersebut, saat ini tim peneliti lintas disiplin Universitas Gadjah Mada sedang melakukan kajian mengenai mekanisme Regulatory Sandbox yang dapat diimplementasikan di sektor kesehatan digital.
Di Indonesia sendiri, pendekatan regulatory sandbox oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital masih ditujukan pada sektor jasa keuangan dan teknologi finansial saja. Sebagai salah satu kegiatan dalam penelitian tersebut, tim peneliti UGM yang diketuai oleh dr. Elsa Herdiana Murhandarwati, M.Kes. P.hD bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, UNICEF, Asosiasi Healthtech Indonesia, dan Center for Digital Society (CfDS) FISIPOL, UGM mengadakan seminar hybrid dengan judul “Menyongsong Regulatory Sandbox Kesehatan & Bedah Buku Panduan Regulatory Sandbox e-Malaria”.
Acara tersebut dihadiri oleh Didik Budijanto, Direktur P2PTVZ Kemenkes RI, Setiaji dan Daniel Oscar Baskoro dari Digital Transformation Office, Kemenkes, dr. Adhiatma Gunawan, Head of Medical Good Doctor Indonesia, dr. Gregorius Bimantoro, ketua Asosiasi Healthtech Indonesia, serta Septiaji Eko, dari Siberkreasi Indonesia.
Daniel Oscar Baskoro, S.kom., M.Sc, Advisor Digital Transformation Office Kemenkes, mengatakan kolaborasi antar sektor yang dilakukan oleh tim peneliti UGM ini menjadi sentral dalam menjamin perbaikan ekosistem digital sektor kesehatan di Indonesia. Inovasi dalam bidang industri startup tentunya membutuhkan biaya operasional dalam jumlah yang besar.
“Ini tentunya akan menghilangkan ego-sektoral dan mendorong kolaborasi baik keterlibatan pemerintah, swasta maupun komunitas. Jangan sampai terjadi tumpang tindih atau inefisiensi pada pengembangan inovasi di bidang healthtech,” ujar Daniel Oscar Baskoro, di Ambarukmo Hotel, Yogyakarta, Rabu (16/6).
Dr. Adhiatma selaku Head of Medical Good Doctor Indonesia mengatakan usulan implementasi sistem Regulatory Sandbox yang sedang dikaji oleh tim peneliti UGM ini juga mendapatkan dukungan dari PSE sektor kesehatan di Indonesia. Ia mengatakan dengan meningkatnya pelaku industri di sektor healthtech, sistem Regulatory Sandbox ini dapat mendukung payung regulasi dan tata kelola hukum mengenai inovasi digital di bidang kesehatan di Indonesia yang telah ada sehingga, terdapat standardisasi yang jelas dalam penggunaan inovasi teknologi digital untuk menjamin kenyamanan dan keamanannya.
“Transformasi Digital di sektor kesehatan, tidak hanya melulu mengenai perbaikan infrastruktur dan inovasi digital. Tetapi juga soal literasi pengguna atau masyarakat Indonesia juga sangat dibutuhkan. Hal ini menimbang tingginya kasus misinformasi dan disinformasi bidang kesehatan di ruang digital Indonesia,” paparnya.
Septiaji Eko dari Siberkreasi Indonesia menambahkan pada bulan Mei 2021 lalu Siberkreasi bekerja sama dengan Kemenkominfo Indonesia merilis kurikulum literasi digital untuk masyarakat Indonesia. Dan untuk lima tahun kedepan, Kemenkominfo memiliki target untuk memperluas reachout pelatihan literasi digital masyarakat.
Literasi ini mencakup digital culture, digital ethic, digital safety, dan juga digital skills. Peningkatan literasi digital yang mencakup empat pilar tersebut diharapkan dapat mendorong transformasi digital sektor kesehatan juga.
“Hal ini perlu dengan mempertimbangkan masih tingginya kasus persebaran misinformasi dan disinformasi kesehatan yang ada di ruang digital,” terangnya.
Di dalam acara tersebut, tim peneliti UGM juga melakukan rilis Buku Panduan Regulatory Sandbox untuk e-Malaria di Indonesia. Tim peneliti yang diwakili oleh dr. Elsa dan juga Dr. Rimawati memaparkan mengenai rencana uji coba Regulatory Sandbox yang termasuk dalam kegiatan kajian tersebut.
dr. Gregorius Bimantoro dari Asosiasi Healthtech Indonesia menyebut terdapat empat klaster inovasi teknologi yang ditawarkan, mencakup Klaster Penjaminan Mutu Eksternal (PME), Surveillance, Telediagnostik atau Telekonsultasi, dan Klaster Penunjang Lainnya. Mitra Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang berpartisipasi dalam uji coba tersebut akan mendapatkan on-hand experience terkait alur dan sistem penilaian yang diterapkan dalam Regulatory Sandbox.
Salah satu hal yang penting dalam Regulatory Sandbox, menurutnya, adalah adanya keberlanjutan business model yang dapat dijaga oleh PSE. “Selain tantangan terkait pendanaan pada perusahaan rintisan kesehatan (healthtech), kita juga perlu memperhatikan bagaimana PSE dapat membuat program inovasi dengan mengembangkan bisnis model program yang sustainable,” jelasnya.
Chief DTO Kemenkes, Setiaji, juga turut mendukung kajian yang dilakukan oleh tim UGM ini. Menurutnya, kajian ini bersinergi dengan semangat Kemenkes untuk mempercepat digitalisasi di sektor layanan kesehatan,
“Kemenkes RI baru-baru ini mendirikan sebuah Digital Transformation Office (DTO) sebagai bentuk komitmen Kemenkes untuk mendukung adanya percepatan digitalisasi sektor kesehatan di Indonesia,” ungkapnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Bisnis.com