Unit Riset dan Publikasi (URP) Fakultas Hukum UGM mengadakan Diskusi dan Bedah Buku “Kejahatan Berbahasa dan Kebebasan Berpendapat” secara daring pada Kamis, (10/6).
Diskusi ini menghadirkan Dr. Aprinus Salam selaku penulis buku/ dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, dan Prof. Marcus Priyo Gunarto, dosen Fakultas Hukum UGM.
Aprinus Salam menjelaskan bahwa bukunya yang berjudul “Kesalahan dan Kejahatan dalam Berbahasa” ditulis sebagai refleksinya berdasarkan pengalaman menjadi saksi ahli di bidang kebahasaan untuk sejumlah kasus kebahasaan yang masuk ke ranah hukum.
Berdasarkan surat edaran Kapolri terbaru terkait UU ITE, ahli hukum pidana bukan menjadi satu-satunya ahli yang krusial dalam UU ITE, tapi ahli bahasa menjadi krusial untuk mengatakan bahwa apakah terdapat konten penghinaan, pencemaran atau ujaran kebencian pasal 28 UU ITE.
“Kebebasan berpendapat dilindungi hukum atau undang-undang, akan tetapi kenyataannya, kita tidak bebas berbahasa. Jadi, berpendapat bebas tapi dalam praktiknya kita tidak bebas berbahasa. Artinya, bebas berbahasa dan bebas berpendapat dua hal yang berbeda,” ujar Aprinus.
Aprinus menjelaskan dalam praktiknya berbahasa bisa menjadi sebuah kejahatan. Hal-hal yang bersifat kriminal awalnya bisa disebabkan karena kesalahan komunikasi, muncul kosakata-kosakata tertentu, kemudian tersinggung perasaannya, marah, dan mengarah ke konflik yang lebih keras.
Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa kita perlu tangkas dan cermat berbahasa agar tidak terjadi kejahatan berbahasa baik dalam konteks berbahasa secara lisan maupun berbahasa secara tertulis seperti di media sosial. Bebas berpendapat bukan berarti kita boleh melakukan pembohongan, penghinaan, pelecehan, dan seterusnya.
Jika dilihat dari segi hukum, Prof. Marcus Priyo Gunarto menjelaskan bahwa bahasa dalam hukum berbeda dengan bahasa sehari-hari, bahkan mungkin menyimpang dari bahasa baku.
“Karena di dalam hukum, khususnya dalam hukum pidana ada asas lex certa, artinya tidak boleh menimbulkan pengertian yang ambigu dan asas lex stricta, pengertian yang pasti. Kemudian juga ada ketentuan penggunaan Bahasa Indonesia dalam penyusunan naskah perundang-undangan yang diatur secara khusus dalam UU No.12 Tahun 2011,”kata Marcus.
Selanjutnya, Marcus memaparkan bagaimana seharusnya hukum (negara) bisa menyeimbangi antara “ketertiban berbahasa” dan kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Pertama, bahasa di dalam hukum (pidana) harus bisa memberikan makna yang pasti (tidak ambigu) demi kepastian hukum. Kedua, dalam hukum dibedakan secara tegas antara kritik dengan penghinaan, wacana yang bersifat kritik, untuk membela diri dan untuk kepentingan umum tidak pantas dipidana. Ketiga, berbahasa yang merendahkan orang lain, bersifat fitnah dan menista harus dihukum. Terakhir, kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan bagian dari HAM dan demokrasi tetap ada batas-batasnya dan pelaksaannya diatur dengan Undang-undang.
Penulis: Desy