Presiden Jokowi belum lama ini menyayangkan beberapa proyek pembangunan pemerintah pusat di daerah tidak mendapat dukungan dari aparat pemerintah daerah. Beberapa contoh pembangunan tersebut diantaranya pembangunan pelabuhan yang tidak diberi fasilitas akses jalan dan pembangunan waduk yang tidak diberi dukungan terhadap fasilitas pembangunan irigasi.
Agustinus Subarsono, M.Si., M.A., Ph.D, dosen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM, menilai kritikan yang disampaikan Presiden memperlihatkan bila sensitivitas atau kepekaan aparat pemerintah daerah rendah terhadap proyek-proyek pembangunan pemerintah pusat. Mereka dinilai tidak mampu menangkap peluang dengan hadirnya proyek pusat yang pada akhirnya berakibat ekonomi daerah tidak berkembang secara optimal.
“Saya percaya pemerintah daerah itu tahu ada proyek pemerintah pusat di daerahnya, tetapi mereka berpikir seolah-olah tidak ada kewajiban untuk mendukung pembangunan proyek pemerintah pusat tadi sehingga mereka tidak mau memfasilitasi,” katanya di Kampus UGM, Jumat (28/5).
Sebagai pengamat kebijakan pembangunan, ia menilai daya kepekaan pemerintah daerah sangat rendah. Selain itu, aparat pemerintah daerah merasa tidak memiliki kaitan dengan proyek-proyek pemerintah pusat dan seakan-akan proyek pemerintah pusat berdiri sendiri tanpa perlu mendapat dukungan pembangunan dari pemerintah daerah.
“Ya itu akibat kepekaan dan kualitas yang rendah. Betul secara manfaat mereka tahu pembangunan tersebut untuk daerah tetapi mereka merasa tidak terpanggil. Saya contohkan seperti pembangunan Bandara Internasional Baru di Kulon Progo, Yogyakarta. Proyek pembangunan bandara tersebut sudah selesai sampai hari ini, tapi proyek pembangunan untuk fasilitas pendukung seperti kereta api dan jalan tol kan belum jadi,” ucapnya.
Akibatnya, para penumpang dari Jogja ke NYIA atau sebaliknya jika tidak memiliki mobil akan kerepotan karena biaya taksi yang cukup mahal. Sementara jika memakai armada Trans Damri, frekuensi keberangkatan lama sekitar 1-2 jam sekali angkatan.
“Dalam hal ini kan sebenarnya teman-teman di Pemda DIY harus menangkap peluang memfasilitasi penumpang dari Jogja ke bandara atau sebaliknya. TransJogja bisa dioperasionalkan ke bandara sampai pembangunan kereta api atau jalan tol jadi, contohnya seperti itu,” terangnya.
Agustinus Subarsono berpandangan masih ada saja sikap-sikap ego sektoral hingga saat ini. Oleh sebab itu, presiden seringkali menyampaikan arahan dengan mengumpulkan kepala-kepala daerah di Jakarta.
Diakui atau tidak di era otonomi daerah dimana penentuan kepala daerah dilakukan melalui pilkada langsung terkadang memunculkan haluan politik yang berbeda antara pusat dan daerah. Tidak sedikit yang “nakal” dan bersikap berbeda sikap dengan pusat sebagai akibat haluan politik yang berbeda.
Menurut Subarsono, meski banyak ditemui kendala proyek pembangunan pusat di daerah, tetapi tidak serta merta juga kemudian menyerahkan seluruh pembangunan ke daerah. Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 menggariskan bahwa pemerintah pusat masih memegang kendali dalam beberapa hal.
Kalaupun proyek-proyek diserahkan kepada daerah, pemerintah daerah dinilai tidak memiliki kemampuan. Pemerintah dinilai tidak memiliki kapasitas menghandel dan tidak punya kapasitas dalam keuangan karena pendapatan asli daerah (PAD) rata-rata rendah.
“Sebagian besar PAD daerah di Indonesia itu kurang dari 30 persen dari anggaran sehingga ketika semua pembangunan diserahkan kepada daerah maka daerah dipastikan tidak mampu, harus dengan APBN sehingga dihandel pemerintah pusat. Hanya saja untuk pembangunan proyek-proyek pusat di daerah kedepannya diharapkan pelibatan pemerintah daerah harus lebih ditingkatkan. Pemerintah pusat jangan hanya memberitahu, tapi melibatkan pemda dalam beberapa taraf tertentu pada tahap yang mana sehingga daerah memiliki tanggung jawab,” jelasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Sumsel-INews.id