Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan kepada berbagai lini masa kehidupan masyarakat. Semua mulai berpindah kepada dunia digital, baik itu kegiatan yang bersifat positif bahkan negatif sekalipun seperti tindak kejahatan, seperti kejadian dalam dunia pers.
Sebagaimana yang dapat kita perhatikan, produk –produk media sudah mulai beralih dari bentuk-bentuk media cetak kepada bentuk-bentuk media online. Namun, perubahan tersebut diikuti pula oleh perubahan bentuk-bentuk ancaman kepada kebebasan pers para jurnalis.
Hal ini seperti yang diutarakan oleh Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM, Wisnu Prasetya Utomo. Dia mengungkapkan bahwa ancaman kepada jurnalis sudah mulai banyak dilakukan secara online. Jika dahulu ancaman kepada kebebasan pers yang biasanya berasal dari negara, berbagai kekuatan politik, kelompok masyarakat sipil dilakukan secara offline, seperti pembunuhan, penyerangan fisik, dan lain sebagainya, maka sekarang bentuk-bentuk ancaman kepada kebebasan pers salah satunya adalah seperti doxing.
Doxing sendiri merupakan sebuah tindakan membongkar atau menyebarluaskan informasi pribadi seseorang tanpa mempunyai izin dari pihak yang berasngkutan.
“Nah sekarang jurnalis yang menulis secara kritis mengenai isu tertentu, sekarang kalau orang tidak suka terhadap pemberitaannya gampang untuk mendoxing atau mengintimidasi jurnalis yang bersangkutan, data-data privatnya di share (posting) di media sosial,” tutur Wisnu dalam podcast berjudul Kanal Info: Apa Kabar Industri Media Hari Ini?, dipublikasikan melalui channel podcast Baskom (Bahas Komunikasi), pada Minggu (23/5)
Makna Kebebasan Pers
Tanggal 3 Mei lalu, dunia, atas prakarsa UNESCO, memperingati hari kebebasan pers. Wisnu mengatakan bahwa kekebasan pers berarti mencakup kebebasan kepada dua hal, yakni kebebasan oleh media pers sendiri dan kebebasan publik untuk mengaksesnya.
Dia menjelaskan bahwa industri media harus mempunyai kebebasan untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Dimana mereka, media, ketika memproduksi informasi tidak mendapat tekanan, tidak mendapat intimidasi, serta tidak dihadang sensorship dari pihak tertentu. Disamping itu, Wisnu juga mengatakan publik seharusnya juga harus mendapatkan kebebasan, yakni kebebasan untuk memilih dan mengakses media tersebut.
“Informasi itu sebagai benda publik karena sebagai benda publik (maka) artinya kita harus punya kebebasan untuk mengakses, dan juga mereka dari industri media juga mempunyai kebebasan untuk meberikan informasi kepada publik (kita),” punkas Wisnu.
Penulis: Aji Maulana