Kongres V Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK) ditutup pada Sabtu (8/5). Pada rapat pleno terakhir yang digelar di Balai Senat UGM kemarin disampaikan kesimpulan dan rekomendasi hasil dari keseluruhan proses acara, baik pra kongres maupun kongres itu sendiri.
Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K)., inisiator Kongres PPK, yang membacakan kesimpulan mengatakan Pancasila harus selalu ada dalam segala perundangan-undangan, termasuk regulasi Sisdiknas. Menurutnya, misi mencerdaskan bangsa dalam pendidikan hanya dapat tercapai jika tedapat keselarasan di 5 level yakni Presiden, Mendikbud-Ristek, kepala daerah, dinas pendidikan daerah, dan guru.
Sutaryo menjelaskan pendidikan baik formal (dari PAUD hingga perguruan tinggi), informal (keluarga), dan non-formal (medsos, keagamaan, sosbud, pramuka, pkk, kursus, dsb.) menjadi sarana terbaik penanaman dan pembudayaan Pancasila.
“Ketiganya tadi yang kerap disebut dengan trisentra pendidikan terdapat disharmoni dan ketimpangan. Sebab, titik tekan pendidikan lebih terfokus pada pendidikan formal semata. Belum lagi persoalan keterbatasan kualitas dan kuantitas guru atau dosen Pancasila secara nasional menjadi kendala tersendiri dalam proses pengajaran Pancasila,”kata Sutaryo.
Melihat beberapa persoalan tersebut, ada beberapa rekomendasi yang telah disepakati oleh peserta kongres. Pertama, pemerintah dan DPR perlu segera merevisi UU No.20 th. 2003 tentang Sisdiknas dan peraturan turunannya karena inkonsistensi dengan amanat konstitusi. Kedua, Pancasila wajib disajikan sebagai pelajaran atau mata kuliah definitif dalam setiap jenjang pendidikan. Pancasila harus berdiri sendiri sebagai mata pelajaran atau mata kuliah, tidak diintegrasikan dengan pendidikan kewarganegaraan.
Ketiga, pembelajaran Pancasila mestinya dijaga dari intervensi kepentingan politik praktis dan disampaikan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu atau akademik. Keempat, politik pendidikan harus menyeimbangkan pendidikan karakter, intelektual dan jasmani, serta peran trisentra pendidikan. Terakhir, perlu menambahkan guru atau dosen Pancasila dengan berkerja sama dengan lembaga-lembaga yang memiliki kapasitas untuk menyelenggarakan pendidikan guru atau dosen.
Rapat pleno tersebut kemudian ditutup dengan sambutan singkat yang disampaikan oleh perwakilan dari tuan rumah penyelenggara Kongres V PPK, yakni Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr., Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan UGM. Ia memberikan ilustrasi mengenai tingkat ketahanan nasional Indonesia belakangan ini.
Berdasarkan data Lemhanas RI, Djagal menyampaikan bahwa selama periode 2010-2016, ketahanan nasional Indonesia berada pada warna kuning, artinya kurang tangguh. Kemudian sedikit membaik pada periode selanjutnya, yakni bergeser ke warna hijau. Namun, pada poin ideologi sebagai salah satu komponen ketahanan nasional, sejak 2010 hingga 2020 terus berwarna kuning.
Data tersebut menunjukkan bahwa negara kita ini sedang kehilangan ideologinya. Padahal, menurut Djagal, negara akan menjadi rapuh ketika kehilangan idealismenya untuk bernegara dan berbangsa. Hal inipun didukung data lain dari Pensylvania University, melalui The Fund for Peace, yang menempatkan Indonesia di warna kuning juga dalam daftar indeks kerapuhan negara-negara di dunia.
“Saya setuju bahwa pendidikan adalah jalan paling efektif untuk menyosialisasikan Pancasila. Mengindonesiakan Pancasila, mempancasilakan Indonesia, ini penting sekali,” pungkasnya.
Penulis: Hakam
Foto: Firsto