Fakultas Kehutanan UGM mengadakan acara Bedah Buku: Taman Nasional Indonesia yang ditulis oleh Pungky Widiaryanto. Acara bedah buku tersebut dilakukan secara daring via zoom pada Rabu
(28/4). Ada banyak topik yang dibahas dalam diskusi tersebut. Salah satu topik yang menarik perhatian adalah tentang ide desentralisasi pengelolaan Taman Nasional (TN) di Indonesia.
Ada beberapa contoh kasus yang melatarbelakangi kemunculan ide tersebut. Salah satunya kasus TN Gunung Ciremai di Kuningan, Jawa Barat. Pungky menceritakan bahwa penetapan kawasan Gunung Ciremai sebagai salah satu Taman Nasional berawal dari usulan Pemkab Kuningan itu sendiri. Usulan tersebut didasari harapan pemkab untuk dapat mengelola dan mendapatkan PAD dari sana. Namun, hal yang terjadi adalah Gunung Ciremai dikelola dan dimiliki oleh pusat.
Hal ini kemudian, dilihat Pungky, mengakibatkan Pemkab Kuningan beberapa waktu lalu mengusulkan perubahan atas status Taman Nasional (TN) Gunung Ciremai menjadi Tahura (Taman Hutan Raya). Menanggapi hal ini Pungky mengusulkan daripada mengubah TN Gunung Ciremai menjadi Tahura, lebih baik pengelolaan TN itu sendiri dilimpahkan kepada pemda.
“Mengapa harus mengubah dari TN menjadi Tahura? (jawabannya) karena nuansanya, Tahura bisa dikelola oleh pemkab sedangkan TN oleh pusat. Mengapa tidak TN saja bisa dikelola oleh pemda?,” tutur Pungky yang sekarang juga berprofesi sebagai Perencana Pembangunan Bidang Kehutanan dan Konservasi Alam di Bappenas tersebut.
Pungky menjelaskan bahwa sesuai peraturan perundang-undangan, pengelolaan TN sejauh ini memang harus dikelola oleh pemerintah pusat. Namun, ketika pemkab dinilai mampu untuk melakukan pengelolaan itu maka tidak menutup kemungkinan jika hal itu bisa dilakukan. “why not kalau itu mampu dan itu bisa,” tambah Pungky.
Tidak hanya itu, Pungky juga melihat jika pelimpahan wewenang pengolaan operasional TN dari pusat kepada daerah kemudian dapat menambah efektifitas pengelolaan itu sendiri. Selama ini, salah satu kendala dalam pengelolaan Taman Nasional di Indonesia yang dilihatnya adalah tentang kurangnya pemerataan distribusi sumber daya manusia.
“Contohnya TN di sekitar Jakarta atau Jogja biasanya banyak diminati. Akibatnya banyak penumpukan staf,” pungkas Pungky
Dengan adanya desentralisasi pengelolaan, Pungky berharap daerah dapat mengurus sendiri sumber daya manusia TN disana. Melalui skema ini, pemerintah daerah pun juga mendapat kesempatan memanfaatkan putra-putra daerah mereka sebagai tenaga pengelola tersebut.
Tanggapan Akademisi
Kepala Laboratorium Pengelolaan Kawasan Konservasi Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Taufik Tri Hermawan, menanggapi ide tersebut dengan menambahkan contoh kasus serupa. Ia mengatakan keterbelengguan karena sistem pengelolaan secara terpusat juga pernah terjadi pada TN Zamrud di Riau.
Taufik mengatakan Pemkab Siak pernah berinisiatif menjadikan kawasan konservasi disana juga bisa mengakomodasi kepentingan ekonomi dan ekologi. Pemkab Siak pun diungkapkan sempat melakukan langkah strategis dengan mengirimkan putra-putra daerah mereka ke perguruan tinggu untuk disiapkan menjadi tenaga pengelola.
“Pengelolaan oleh pemerintah pusat itu sebetulnya amanat di UU No. 5 tahun 1990, khususnya di pasal 16 dan pasal 34, disitu disebutkan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam itu dilaksanakan oleh pemerintah. Nah, ini sebetulnya menjadi kunci yang membelenggu kita semua,” tutur Taufik.
Pemkab Siak selama ini dikenal sebagai kabupaten dengan jumlah PAD terbesar ke-lima se-Indonesia sehingga menurut Taufik tidak mempunyai kendala pendanaan untuk pengelolaan.
Penulis: Aji Maulana