Pengamat Hubungan Internasional sekaligus aktivis perdamaian dunia dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Dr. Muhadi Sugiono, mengapresiasi langkah Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Asean dalam menyelesaikan krisis di Myanmar. Namun demikian, menurutnya efektivitas hasil KTT ini harus tidak berhenti dari apa yang disepakati oleh negara-negara Asean, melainkan juga pada bagaimana Asean kemudian menerjemahkan keputusan bersama itu ke dalam tindakan-tindakan konkret.
“Mendudukkan para pihak yang terlibat dalam konflik di Myanmar merupakan sebuah keharusan jika Asean ingin benar-benar melakukan peran dalam penyelesaian konflik,” kata Muhadi Sugiono, Selasa (27/4).
Menurut Muhadi, para pemimpin anggota Asean bisa berkaca dari pengalaman Indonesia dengan diselenggarakannya Jakarta Informal Meeting sebagai bagian penting untuk menyelesaikan konflik di Indocina. “Melalui Jakarta Informal Meeting yang berlangsung dari tahun 1988 hingga 1990, Indonesia menghadirkan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk berbicara satu sama-lain. Dalam kasus Myanmar, tidak bisa tidak itu harus dilakukan,” paparnya.
Dalam pandangannya, KTT Asean memang merupakan sebuah kemajuan dalam kaitannya dengan hubungan ASEAN dengan negara-negara anggotanya. Selama ini, melalui prinsip non interference, ASEAN dan negara-negara anggota Asean selalu berusaha menghindarkan diri untuk memberikan respons atau bahkan pernyataan terhadap apa yang terjadi di negara-negara anggota yang mereka sebut sebagai urusan dalam negeri negara-negara anggota tersebut. “Nah, berbeda dengan praktik-praktik sebelumnya, KTT ASEAN tentang krisis di Myanmar, bisa dilihat sebagai sebuah terobosan. Apalagi jika dilihat dari apa yang dihasilkan, yang antara lain menuntut dihentikannya kekerasan di Myanmar,” katanya.
Hanya saja, imbuh Muhadi, efektif dan tidaknya KTT ASEAN akan menghentikan krisis di Myanmar tentu tidak bisa dengan mudah dijawab dari apa yang dihasilkan dalam KTT tersebut. Sebab, apa yang dihasilkan oleh KTT menurut pandangannya sebenarnya mencerminkan common denominator yang relatif rendah. “Praktik pembuatan keputusan seperti ini sebenarnya sangat umum dipraktikkan oleh banyak organisasi, termasuk Asean. Negara-negara anggota akan bisa sampai pada konsensus kalau mereka tidak merasa terancam. Nah, di KTT Asean tentang krisis Myanmar ini, indikasi bahwa keputusan Asean mencerminkan common denominator yang sangat rendah terlihat misalnya dengan ketidakhadiran PM Thailand, Prayuth Chan-ocha, dan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, serta kehadiran pemimpin junta militer,”ungkapnya.
Bahkan, keberadaan pemerintah militer di Thailand yang menggulingkan pemerintahan demokratis menjadi salah satu ganjalan bagi Asean untuk mengambil suara atau keputusan yang sangat keras terhadap Myanmar. “Jika Asean memberikan sikap tegas kepada Myanmar, tetapi tidak kepada Thailand, maka reputasi Asean akan hancur karena Asean menerapkan standar ganda. Ini pekerjaan rumah besar bagi Asean,” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : AP Images