Cendekiawan Daniel Dhakidae meninggal dunia pada Selasa (6/4). Ignas Kleden, sastrawan, sosiolog, serta teman Daniel semenjak pendidikan di NTT sampai bersama-sama berkarya di Majalah Prisma, mengungkapkan kedekatan Daniel dengan kebudayaan. Ignas mengatakan bahwa Daniel Dhakidae memiliki bakat sebagai seorang seniman, menguasai berbagai bahasa, serta mempunyai jiwa dari seorang budayawan itu sendiri.
Ignas menjelaskan bahwa dahulu Daniel belajar dan mahir dalam memainkan biola. Daniel bisa memainkan lagu-lagu klasik dan sebagainya.
“Daniel menjadi salah satu pemain biola terbaik pada masa itu,” ungkap Ignas dalam webinar Serial Diskusi Pemikiran Daniel Dhakidae yang diselenggarakan FISIPOL UGM pada Senin (12/4).
Namun, pada suatu waktu di masa lalu, Daniel Dhakidae lalu memutuskan berhenti menggeluti musik yang dia akui kepada Ignas sebagai sesuatu yang dia senangi. Hal ini disebabkan karena Daniel takut menjadi seorang yang asosial.
“Saya sangat asik menikmati latihan, dan sangat asik juga menikmati hasil permainan saya sampai saya takut bahwa saya hanya menikmati diri saya sendiri, menurut saya ini tidak sehat, saya harus berhenti, karena kalau tidak saya bisa menjadi sangat asosial,” tutur Daniel kepada Ignas.
Ignas juga mengatakan bahwa Daniel Dhakidae menguasai berbagai macam bahasa, dimulai dari Bahasa Inggris, Jerman, dan bahkan Bahasa Latin.
Daniel Dhakidae mempunyai minat yang sangat besar kepada kajian ekonomi politik, namun Ignas menuturkan bahwa Daniel juga mempunyai keinginan untuk berkontribusi di bidang kebudayaan.
Pentingnya Karya Intelektual Daniel Dhakidae
Vedi Hadiz, Professor of Asian Studies at the Asia Institute, the University of Melbourne, dan juga diketahui sebagai teman Daniel Dhakidae, menuturkan bahwa Daniel mempunyai banyak karya intelektual yang sangat penting. Salah satunya, terutama dalam studi media masa Indonesia, yakni disertasi PhD-nya Daniel yang berjudul The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism, Political Economy of Indonesian News Industry.
Vedi menjelaskan bahwa sebelum tahun 1991, Daniel melihat bahwa pers sudah menjadi sebuah industri besar. Daniel pun kemudian melihat bahwa perubahan tersebut selanjutnya juga membawa perubahan pada kualitas dari produk pers itu sendiri.
“Pergumulan antara budaya politik yang dikembangkan orde baru, jenis kekuasaan represif (orde baru) dan mengontrol yang dikembangkannya, serta kepentingan modal yang semakin besar di industri pers menghasilkan pers yang apolitis, makanya the fall of journalism,” tutur Vedi dalam acara yang bersamaan dengan Ignes Kleden.
Vedi mengatakan bahwa Daniel mengajukan sebuah pengamatan yang tidak korelatif antara perkembangan industri pers dari segi keuntungan ekonomi dengan kualitas dari produk pers itu sendiri. Semakin membosankannya hasil dunia pers, (maka) semakin besar dia (industri pers) sebagai bisnis,” ungkap Vedi.
Daniel melihat bahwa pada zaman orde baru, pers pada masa itu layaknya seperti advertisement iklan daripada news itu sendiri. Pers waktu itu menjadi bagian dari struktur kapitalisme Indonesia.
Disertasi yang diterbitkan pada tahun 1991 tersebut, diketahui mendapatkan penghargaan the Lauriston Sharp Prize dari Southeast Asian Program Cornell University. Vedi mengatakan bahwa disertasi Daniel tersebut sangat penting dipahami untuk mempelajari perkembangan media masa Indonesia di masa sekarang. Konsep dimana jurnalisme yang dilihat Vedi tersirat dalam disertasi Daniel tidak bisa lepas dari konteks modal, kekuasaan, dan budaya, sangat penting untuk menganalisis fenomena media masa kontemporer, ketika TV swasta menjadi besar, munculnya social media, serta masuknya konglomerat besar ke dalam dunia media masa untuk dijadikan sebagai sarana politik.
Dalam rangka mengenang Daniel Dhakidae, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM mengadakan webinar selama tiga hari berturut-turut, dari 12 sampai 14 April 2021. Webinar tersebut menghadirkan para cendekiawan untuk membahas berbagai topik yang berkaitan dengan sumbangsih pemikiran Daniel Dhakidae semasa hidupnya.
Penulis: Aji Maulana
Foto: Facebook Daniel Dhakidae